PASRAH ATAU FATALISKAH DIRI ANDA...???
PASRAH
PASRAH, adalah kata-kata yang tak mudah dipahami. Banyak orang salah kaprah mengartikan makna pasrah yang dipahami sebagai sikap melenyapkan segala kemauan, keinginan, inisiatif, dan kehendak. Yang seperti ini sudah termasuk ke dalam terminologi FATALISME yang rentan sekali terhadap sikap putus asa. Tanpa disadari keputus-asaan akan mudah membuat siapapun mudah tergelincir pada sindrom radikalisme, ekstrimisme, dan ekslusivisme
.
Pasrah berhubungan dengan penyelarasan sikap dan perbuatan diri dengan kehendak alam semesta alias kehendak tuhan. Pasrah bukan bermakna sikap pasif dan tanpa usaha. Justru pasrah di dalamnya termakna suatu usaha sekuat tenaga, semaksimalnya agar supaya sikap dan perbuatan kita selaras dan sinergis dengan hukum alam. Sehingga di antara jagad kecil atau mikrokosmos dengan jagad besar atau makrokosmos tercipta hubungan yang harmonis. Dan begitulah hakekatnya orang yang disebut tunduk patuh kepada tuhan. Sebaliknya, radikalisme, ekstrimisme, mengarah pada kekerasan dan penghancuran antar sesama manusia, sudah termasuk ke dalam kategori bertentangan dengan hukum/kodrat alam yang bersifat sebaliknya, selalu harmonis berada dalam hukum keseimbangan alam semesta.
FATALISME
Fatalisme adalah faham atau cara pandang hidup, disebut pula prinsip dalam menjalani kehidupan. Secara sosiologis fatalistis menunjuk sikap seseorang yang selalu menghilangkan peran dan inisiatif diri sendiri secara mutlak, terutama pada saat menghadapi problema kehidupan. Lantas di mana kehendak diri atau self ? Musnah ditelan oleh suatu paham akan kemutlakan “kehendak tuhan”! Bila seseorang terlalu pasrah dalam segala hal sampai-sampai kehilangan inisiatifnya, maka sikap inilah disebut fatalis. Sikap fatalis yang telah menjadi prinsip menjalani hidup sehari-hari, berubah menjadi paham fatalisme. Dalam paham fatalisme, secara sadar atau tidak seseorang menyangka suatu keadaan sudah dikuasai oleh nasib dan tidak bisa dirubahnya tanpa kehendak tuhan. Bahkan pandangan fatalisme yang paling ekstrim menganggap segala nasib baik dan buruk mutlak datang dari kehendak Tuhan. Manusia tidak memiliki celah sedikitpun untuk merubahnya. Dalam khasanah agama, sikap fatalistik berkaitan dengan cara pandang (mind set) seseorang terhadap pemaknaan takdir atau kehendak Tuhan yang dipahami dengan salah kaprah.
Ironisnya, sikap fatalistis biasanya justru bermula dari cara penafsiran akan ajaran suatu agama. Atau pola-pikir yang sudah terpola oleh doktrin agama yang tidak dipahami secara esensial/hakekat. Sikap fatalis akan muncul bilamana seseorang memahami bahwa karsa atau kehendak dalam kehidupan ini mutlak merupakan kehendak Tuhan. Tak ada gerak-gerik sekecil apapun yang bukan kehendak tuhan. Sikap seorang fatalis menganggap semua keinginan manusia sekecil dan seburuk apapun tidaklah mandiri, kecuali sudah menjadi determinasi kekuasaan tuhan. Bahkan pada tingkat ekstrim, orang-orang tipe fatalis akan menganggap “kemutlakan tuhan” telah meniadakan peran individu sebagai makhluk hidup yang memiliki kehendak mandiri, dan memiliki kemampuan untuk memilih. Misalnya anda garuk-garuk kepala pada jam 23.09 malam Jumat, tanggal 21 Agustus, merupakan kejadian yang sudah merupakan ketentuan Tuhan. Tuhan mengatur seekor nyamuk supaya terbang dari comberan lalu menggigit pantat anda, kemudian anda menepuk nyamuk tsb pada jam 23.07 wit. Seorang fatalis akan menganggap peristiwa itu sudah menjadi KODRAT TUHAN. Daun yang gugur dari ranting pohon pada jam 23.56 pun dipahami sebagai kodrat dan iradat (ketentuan dan kehendak) tuhan saat itu. Artinya tuhan telah menentukan peristiwa di mana anda menepuk nyamuk pada jam tersebut serta gugurnya daun dari ranting pada jam tersebut. Cara berfikir demikian inilah yang menjadi terkesan sangat aneh.
LANTAS BAGAIMANA MEMAHAMI KODRAT ?
Kodrat saya pahami tak ubahnya hukum alam yang di dalamnya terkandung rumus-rumus alam. Rumus-rumus itu sebagian kecil telah diketemukan manusia sejak zaman paleolitikum, mezolitikum hingga neolitikum. Hasil temuan manusia jika dibukukan sebagai hasil penemuan manusia maka jadilah ilmu pengetahuan. Jika dibukukan dengan klaim atas nama tuhan, jadilah buku yang disucikan dan dikeramatkan. Bedanya, ilmu pengetahuan butuh verifikasi, pengujian secara ilmiah, terbuka untuk dikritik agar mencapai kesempurnaan pemahaman akan rumus-rumus tuhan yang berlaku. Sedangkan buku yang dikeramatkan justru bersifat anti kritik, tabu untuk diperdebatkan, dan tidak butuh verifikasi atau uji kebenaran. MUMU'Says
PASRAH
PASRAH, adalah kata-kata yang tak mudah dipahami. Banyak orang salah kaprah mengartikan makna pasrah yang dipahami sebagai sikap melenyapkan segala kemauan, keinginan, inisiatif, dan kehendak. Yang seperti ini sudah termasuk ke dalam terminologi FATALISME yang rentan sekali terhadap sikap putus asa. Tanpa disadari keputus-asaan akan mudah membuat siapapun mudah tergelincir pada sindrom radikalisme, ekstrimisme, dan ekslusivisme
.
Pasrah berhubungan dengan penyelarasan sikap dan perbuatan diri dengan kehendak alam semesta alias kehendak tuhan. Pasrah bukan bermakna sikap pasif dan tanpa usaha. Justru pasrah di dalamnya termakna suatu usaha sekuat tenaga, semaksimalnya agar supaya sikap dan perbuatan kita selaras dan sinergis dengan hukum alam. Sehingga di antara jagad kecil atau mikrokosmos dengan jagad besar atau makrokosmos tercipta hubungan yang harmonis. Dan begitulah hakekatnya orang yang disebut tunduk patuh kepada tuhan. Sebaliknya, radikalisme, ekstrimisme, mengarah pada kekerasan dan penghancuran antar sesama manusia, sudah termasuk ke dalam kategori bertentangan dengan hukum/kodrat alam yang bersifat sebaliknya, selalu harmonis berada dalam hukum keseimbangan alam semesta.
FATALISME
Fatalisme adalah faham atau cara pandang hidup, disebut pula prinsip dalam menjalani kehidupan. Secara sosiologis fatalistis menunjuk sikap seseorang yang selalu menghilangkan peran dan inisiatif diri sendiri secara mutlak, terutama pada saat menghadapi problema kehidupan. Lantas di mana kehendak diri atau self ? Musnah ditelan oleh suatu paham akan kemutlakan “kehendak tuhan”! Bila seseorang terlalu pasrah dalam segala hal sampai-sampai kehilangan inisiatifnya, maka sikap inilah disebut fatalis. Sikap fatalis yang telah menjadi prinsip menjalani hidup sehari-hari, berubah menjadi paham fatalisme. Dalam paham fatalisme, secara sadar atau tidak seseorang menyangka suatu keadaan sudah dikuasai oleh nasib dan tidak bisa dirubahnya tanpa kehendak tuhan. Bahkan pandangan fatalisme yang paling ekstrim menganggap segala nasib baik dan buruk mutlak datang dari kehendak Tuhan. Manusia tidak memiliki celah sedikitpun untuk merubahnya. Dalam khasanah agama, sikap fatalistik berkaitan dengan cara pandang (mind set) seseorang terhadap pemaknaan takdir atau kehendak Tuhan yang dipahami dengan salah kaprah.
Ironisnya, sikap fatalistis biasanya justru bermula dari cara penafsiran akan ajaran suatu agama. Atau pola-pikir yang sudah terpola oleh doktrin agama yang tidak dipahami secara esensial/hakekat. Sikap fatalis akan muncul bilamana seseorang memahami bahwa karsa atau kehendak dalam kehidupan ini mutlak merupakan kehendak Tuhan. Tak ada gerak-gerik sekecil apapun yang bukan kehendak tuhan. Sikap seorang fatalis menganggap semua keinginan manusia sekecil dan seburuk apapun tidaklah mandiri, kecuali sudah menjadi determinasi kekuasaan tuhan. Bahkan pada tingkat ekstrim, orang-orang tipe fatalis akan menganggap “kemutlakan tuhan” telah meniadakan peran individu sebagai makhluk hidup yang memiliki kehendak mandiri, dan memiliki kemampuan untuk memilih. Misalnya anda garuk-garuk kepala pada jam 23.09 malam Jumat, tanggal 21 Agustus, merupakan kejadian yang sudah merupakan ketentuan Tuhan. Tuhan mengatur seekor nyamuk supaya terbang dari comberan lalu menggigit pantat anda, kemudian anda menepuk nyamuk tsb pada jam 23.07 wit. Seorang fatalis akan menganggap peristiwa itu sudah menjadi KODRAT TUHAN. Daun yang gugur dari ranting pohon pada jam 23.56 pun dipahami sebagai kodrat dan iradat (ketentuan dan kehendak) tuhan saat itu. Artinya tuhan telah menentukan peristiwa di mana anda menepuk nyamuk pada jam tersebut serta gugurnya daun dari ranting pada jam tersebut. Cara berfikir demikian inilah yang menjadi terkesan sangat aneh.
LANTAS BAGAIMANA MEMAHAMI KODRAT ?
Kodrat saya pahami tak ubahnya hukum alam yang di dalamnya terkandung rumus-rumus alam. Rumus-rumus itu sebagian kecil telah diketemukan manusia sejak zaman paleolitikum, mezolitikum hingga neolitikum. Hasil temuan manusia jika dibukukan sebagai hasil penemuan manusia maka jadilah ilmu pengetahuan. Jika dibukukan dengan klaim atas nama tuhan, jadilah buku yang disucikan dan dikeramatkan. Bedanya, ilmu pengetahuan butuh verifikasi, pengujian secara ilmiah, terbuka untuk dikritik agar mencapai kesempurnaan pemahaman akan rumus-rumus tuhan yang berlaku. Sedangkan buku yang dikeramatkan justru bersifat anti kritik, tabu untuk diperdebatkan, dan tidak butuh verifikasi atau uji kebenaran. MUMU'Says
No comments:
Post a Comment