Bagi sebagian orang, akal adalah dewa yang dapat menyatakan ini benar
dan ini salah, ini baik dan ini buruk. Tak heran jika kemudian muncul
agama yang berpangkal dari akal pikiran manusia yang disebut agama
logika. Mereka yang memutlakkan kemampuan akalnya dapat dengan bangga
menepuk dada sambil mencaci maki produk ajaran agama yang bersifat
dogmatis. Lebih-lebih bila ajaran agama tersebut tidak masuk di akal.
Sedangkan bagi sebagian yang lainnya, dia menempatkan produk akal dan
pikirannya dalam konsep relatifitas. Mereka yang paham keterbatasan
akal pikirannya, biasanya mengambil sikap ‘wait and see’ saat bertemu
dengan ajaran agama yang ‘tampak’ tidak masuk akal. Baginya ajaran
agama itu memiliki 2 dimensi, yaitu dimensi manfaat dan dimensi
keimanan.
Mereka yang beriman percaya bahwa setiap perintah dan larangan dari
Tuhan pasti memiliki manfaat dan muhorot yang berpengaruh pada
keselamatan dan kebahagian hidup manusia. Contoh: ternyata puasa dan
sholat itu menyehatkan, ternyata berbagi dengan zakat dan shodaqoh itu
membahagiakan, ternyata babi, darah, binatang buas itu berbahaya
dimakan karena bisa merusak kesehatan fisik, perilaku dan perkembangan
genetik manusia. Manfaat dan mudhorot ini memang merupakan produk
akal-pikiran. Lalu kalau bahaya makan babi tersebut bisa dihilangkan
dengan teknologi canggih, apakah hukumnya haramnya bisa berubah menjadi
halal? Saya hanya akan jawab dengan senyuman manis saya saja. :)
Lalu bagaimana bila ternyata bila ada ajaran agama yang tidak masuk
akal, misalnya ajaran untuk tidak memakan hewan ternak yang disembelih tidak atas nama Tuhan.
Secara logika, kita akan bertanya, apa bedanya daging yang disembelih
dengan atau tanpa nama Tuhan? Ah Tuhan ini narsis sekali ya. Semua hal
maunya atas nama dan untukNya. Demikian kira-kira pikiran para pemuja
akal. Disinilah letak perlunya dimensi ‘keimanan’ yang bersifat mutlak.
Ada atau tidak adanya manfaat dan mudhorot, masuk akal atau tidak masuk
akal, bagi orang beriman akan mengesampingkan fungsi akalnya sambil
berkata “Tuhan pasti lebih tahu apa yang baik bagi ciptaanNya”.
Akal pikiran manusia bukan segala-galanya dan tidak bersifat mutlak.
Karena fungsi akal pikiran kita tergantung dari seberapa banyak
pengetahuan yang kita miliki. Padahal pengetahuan itu seperti potongan
puzzle yang kita seringkali tidak tahu gambar utuhnya (baca: Mengapa Bisa Beda Persepsi? ).
Oleh karena itu sadar akan kebenaran relatif dan keterbatasan fungsi
akan lebih baik bagi saya pribadi, agar jangan sampai kebebasan
berfikir berubah menjadi kebablasan berfikir. Silahkan Anda berkata
’saya berfikir maka saya ada’, ‘Saya memikirkan tuhan, maka tuhan ada’,
dan ‘jangan memikirkan gajah, maka tetap saja di benak akan tergambar
gajah’.
Akal pikiran manusia itu seperti program aplikasi komputer yang memiliki hukum GIGO (Garbage in garbage out, gold in gold out).
Bila metode pengolahan datanya benar, maka hasil komputer akan
tergantung pada data atau fakta yang dimasukkan. Bila fakta yang
dimasukkan sampah, maka sampah pula yang keluar dari hasil
pengolahannya. Namun bila data yang masuk adalah emas, maka hasil
pengolahannya juga akan didapatkan informasi yang berharga. Sadar akan
keterbatasan akal pikiran akan lebih baik agar kita tidak kebablasan
dalam berfikir, sehingga jangan sampai Anda ‘gila’ karena salah
berfikir.
Pernahkan Anda mengolah data dengan program statistik seperti SPSS? Ya,
jangan harap hasil uji statistiknya akan akurat bila data yang Anda
masukkan ke dalam komputer juga tidak akurat. Demikian juga dengan
produk akal pikiran kita yang akurasi kebenarannya tergantung dari
metode berfikir dan fakta untuk proses berfikirnya. Proses pengolahan
data pada komputer bisa terganggu bila ada virus yang membuat ‘corrupt’
data yang ada. Sedangkan pada manusia, pemikiran orang lain, bisa juga
menjadi virus pemikiran bagi orang lainnya. Namun bagi mereka yang
percaya akan adanya ilham, proses berfikir manusia bisa juga
mendapatkan tambahan data ilham dari Tuhan melalui jalan apa saja. Ya,
manusia bisa mensintesa pengetahuan
barunya baik dari hasil pengolahan dan penarikan kesimpulan pengolahan
data sebelumnya, maupun pengetahuan lain yang entah darimana datangnya.
Mungkin ini yang terjadi pada berbagai penemuan bilangan natural
seperti pi dan logaritma e.
Ah sudahlah. Tulisan saya ini juga cuman produk akal-pikiran saya dalam
rangka kebebasan berfikir. Yang pasti kebenarannya relatif sesuai
dengan kapasitas prosesor dan isi harddisk pengetahuan saya. Saya
harus konsisten untuk tidak meng-klaim tulisan ini sebagai sebuah
kebenaran. Mungkin lebih tepat sebagai sebuah kebetulan. Kebetulan saja
saya lagi nulis serius, dan kebetulan juga Anda mau capek-capek membaca
tulisan saya ini. Ternyata benar dan betul adalah dua kata sifat yang bila diubah menjadi kata benda, namun artinya jauh berbeda ya. ~KOMPASIANA
No comments:
Post a Comment