Friday, September 2, 2011

berjumpa shiva didalam

  • Di tahun 1920-an pernah datang peneliti Belanda ke Bali. Dan yang paling membuat peneliti ini kagum terhadap Bali ketika itu adalah tidak dikenalnya  kesenian sebagai pertunjukan komersial. Semua gerak kehidupan ketika itu (dari bertani sampai menari) dilakukan sebagai persembahan. Mungkin itu sebabnya,  salah satu arti Bali adalah persembahan.  Sekaligus memberi inspirasi, inilah  “leluhur spiritual” manusia Bali yang menempatkan semuanya sebagai persembahan.
Kucing mengejar ekornya
  • Bila boleh jujur, masih tersisa banyak sekali manusia Bali yang menghubungkan ketidakdamain kekinian dengan rangkaian persembahan. Ada yang tekun sekali mencari silsilah, ada yang mengejar Dewa ke mana-mana, ada yang lapar merenovasi Pura. Dibandingkan dengan melakukan kejahatan, tentu saja semua ini baik. Namun tidak sedikit pencari ini yang bernasib serupa kucing yang mengejar ekornya.
  • Dan sebagaimana dialami banyak yogi, setelah mencari ke sana ke mari yang dicari ternyata ada di rumah. Keadaannya serupa  dengan  seorang  petani  miskin  di  Afrika yang setiap malam tidur berbantalkan batu, kemudian berdoa agar diberkahi berlian. Kesal dengan tanahnya yang hanya berisi batu, kemudian dijual. Sekian tahun kemudian setelah mencari ke sana ke mari dan tidak menemukan apa-apa, akhirnya ia pulang kampung. Betapa sedih hatinya ketika menyadari, ternyata batu yang ia pakai bantal setiap hari sekian tahun lalu ternyata berlian!. Makanya Franz Kafka menulis: “makna baru terbuka ketika manusia belajar berhenti”.
Sembah yang indah
  • Di tengah kencangnya tenaga orang Bali mencari ke sana ke mari, mungkin ini saat yang tepat untuk pulang ke rumah spiritual tua yang memperlakukan semuanya sebagai persembahan. Tidak saja di tempat ibadah manusia bisa menyembah. Menyediakan sarapan pagi, menyapu lantai, mencuci pakaian, mempersilahkan orang yang buru-buru agar berjalan duluan, semuanya bisa menjadi persembahan. Sejauh ia dilakukan untuk memberi manfaat pada mahluk lain.
  • Inilah sembah yang indah, serangkaian sembah yang  diawali dengan niat untuk melayani, diakhiri dengan doa semoga persembahan kita mengurangi penderitaan semua mahluk. Ketika bersembahyang khususnya, yakinlah kalau Anda datang untuk memberi. Sekurang-kurangnya memberi senyuman. Syukur-syukur bisa mengulurkan tangan bantuan. Begitu persembahyangan selesai, pancarkan rasa damai akibat pemberian Anda ke semua arah. Seolah-olah semua mahluk dari butha, manusia sampai dewa tersenyum menerima vibrasi kedamaian Anda.
  • Dalam logika biasa, memberi akan membuat seseorang tidak mendapatkan apa-apa. Paradoksnya, banyak yogi tingkat tinggi justru menjadi kaya secara spiritual setelah banyak memberi.  Pertama,   dengan     memberi   seseorang   sedang belajar memperkecil ego sebagai sumber penderitaan. Kedua, dengan pemberian  manusia sedang belajar terhubung secara kosmik dengan semuanya. Ketiga, ketika memberi sesungguhnya manusia sedang belajar melepaskan.
  • Seorang guru di India Utara pernah berpesan: We can live without religion, but we can not live without compassion. Andaikan institusi agama mengalami keruntuhan (sebagaimana dialami sebagian negara di Barat), manusia masih bisa makan, minum, berobat. Namun perhatikan putaran keseharian manusia. Setiap manusia dibuat oleh sepasang orang tua yang saling menyayangi. Nasi dan sayur yang dimakan, berdiri di atas kemiskinan petani. Para binatang bahkan lebih mengenaskan, terpaksa mati untuk membuat manusia bisa makan daging. Dengan kata lain, kehidupan manusia dibangun di atas tidak terhitung tumpukan kasih sayang. Bila kemudian manusia lupa menyayangi, ia sesungguhnya sedang  melupakan orang tua spiritualnya.
  • Merenung di atas tumpukan bahan seperti ini, mungkin ini saat yang tepat untuk  memaknakan ulang yadnya. Lebih dari memberi dan menyayangi, yadnya adalah serangkaian langkah untuk belajar  melepaskan. Kematian menjadi menakutkan karena manusia belum terbiasa melepaskan. Sebaliknya, siapa saja yang sudah terbiasa mengisi keseharian dengan pemberian, meletakkan yadnya sebagai latihan melepaskan, bukan tertutup kemungkinan bahkan kematian pun bisa berwajah menawan.  Dalam bahasa guru Tantra Milarepa: “death is not death for a yogi, it’s just a little enlightenment”.  Dalam kehidupan yogi tingkat tinggi, kematian datang tidak diikuti ketakutan. Ia hanya sebuah pengalaman kecil yang mencerahkan.
  • Dalam kelompok yogi seperti ini, kematian berarti memberikan dan melepaskan rumah, mobil, tabungan, nama baik. Sebagai hasilnya, di saat kematian bisa mengalami kebahagiaan karena melihat anak-anak dan para mahluk berbahagia dengan seluruh pemberian serta peninggalan kita. Bila begini cara meninggalnya,  kematian berubah wajah menjadi yadnya.
Sembah yang teramat indah
  • Bagi yang sudah sampai di sini, banyak sekali pesan simbolik yang diwariskan tetua yang tiba-tiba bisa dibaca. Di kepala pulau Bali,  tetua memberi nama desa dengan Kubutambahan. Kubu artinya rumah, tambah maknanya positif. Sederhananya, rumah untuk orang-orang yang berfikir positif.
  • Di kaki pulau Bali di mana matahari kerap terbit sambil bercumbu dengan puncak gunung Agung, tetua memberi nama desa dengan Sanur. Sa dalam bahasa Bali berarti satu. Nur tidak lain adalah cahaya. Cahaya yang satu!. Bagi mereka yang membekali hidupnya dengan bakti, cahaya itu akan menjadi pembimbing dalam langkah keseharian.
  • Tempat di mana banyak sekali manusia dari seluruh dunia datang merindukan penyembuhan adalah Ubud (ubad alias obat). Dan ia terletak di Bali Tengah. Dirangkai menjadi satu, langkahkanlah kaki diterangi cahaya yang satu, isi kepala dengan hal-hal positif. Sebagai hasilnya, hidup pun menjadi tercerahkan (tersembuhkan secara sempurna). Tandanya, selalu berjalan di jalan tengah, menghindari semua hal ekstrim. Dan puncak perjalanan di jalan tengah bernama Embang, Shunya, Suwung, Parama Shanti.
  • Seorang guru yang sudah menyentuh Embang, pernah ditanya apakah beliau akan terlahir kembali?. Dengan lembut beliau menjawab: “Saya akan terlahir di tempat di mana saja dibutuhkan. Termasuk bila dibutuhkan di alam binatang”. Sementara kebanyakan orang berlatih spiritual untuk buru-buru membebaskan dirinya dari siklus kelahiran, guru ini malah mencari tempat lahir di mana pertolongannya  dibutuhkan.
  • Inilah sembah yang teramat indah. Tidak lagi menyembah untuk kebahagiaan apa lagi kekayaan diri sendiri, melainkan menyembah untuk keselamatan dan kebahagiaan pihak lain. Dan kita orang biasa bila belum bisa berdoa agar terus menerus terlahir untuk membantu, cukup melakukan tindakan-tindakan kecil tidak dikenal. Dari mematikan keran air atau saklar lampu yang lupa dimatikan, meminggirkan kayu di tengah jalan yang bisa membahayakan pengendara sepeda motor, menyayangi keluarga, menghormati atasan, pelanggan dan orang tua, dan masih banyak lagi yang lain.

  • Intinya cuma satu, membuat hidup berguna dan bermakna bagi pihak lain. Bila begini caranya menyembah, maka semua tempat adalah tempat ibadah, semua kegiatan menjadi kegiatan menyembah. Semua langkah membuat semakin dekat dengan leluhur spiritual orang Bali yang bernama persembahan. Dan tentu bukan kebetulan bila salah satu arti Shiva adalah kebaikan. Dan lebih tidak kebetulan lagi, bila guru besar Mpu Kuturan meletakkan Shiva di pura Dalem. Siapa saja yang lapar melaksanakan kebaikan, menemukan kedamaian dengan melaksanakan kebaikan, sesungguhnya sudah berjumpa Shiva di dalam dirinya.

No comments: