- Di tahun 1920-an pernah datang peneliti Belanda ke Bali. Dan yang
paling membuat peneliti ini kagum terhadap Bali ketika itu adalah tidak
dikenalnya kesenian sebagai pertunjukan komersial. Semua gerak
kehidupan ketika itu (dari bertani sampai menari) dilakukan sebagai
persembahan. Mungkin itu sebabnya, salah satu arti Bali adalah
persembahan. Sekaligus memberi inspirasi, inilah “leluhur spiritual”
manusia Bali yang menempatkan semuanya sebagai persembahan.
Kucing mengejar ekornya
- Bila boleh jujur, masih tersisa banyak sekali manusia Bali yang
menghubungkan ketidakdamain kekinian dengan rangkaian persembahan. Ada
yang tekun sekali mencari silsilah, ada yang mengejar Dewa ke
mana-mana, ada yang lapar merenovasi Pura. Dibandingkan dengan
melakukan kejahatan, tentu saja semua ini baik. Namun tidak sedikit
pencari ini yang bernasib serupa kucing yang mengejar ekornya.
- Dan sebagaimana dialami banyak yogi, setelah mencari ke sana ke mari
yang dicari ternyata ada di rumah. Keadaannya serupa dengan seorang
petani miskin di Afrika yang setiap malam tidur berbantalkan batu,
kemudian berdoa agar diberkahi berlian. Kesal dengan tanahnya yang
hanya berisi batu, kemudian dijual. Sekian tahun kemudian setelah
mencari ke sana ke mari dan tidak menemukan apa-apa, akhirnya ia pulang
kampung. Betapa sedih hatinya ketika menyadari, ternyata batu yang ia
pakai bantal setiap hari sekian tahun lalu ternyata berlian!. Makanya
Franz Kafka menulis: “makna baru terbuka ketika manusia belajar
berhenti”.
Sembah yang indah
- Di tengah kencangnya tenaga orang Bali mencari ke sana ke mari,
mungkin ini saat yang tepat untuk pulang ke rumah spiritual tua yang
memperlakukan semuanya sebagai persembahan. Tidak saja di tempat ibadah
manusia bisa menyembah. Menyediakan sarapan pagi, menyapu lantai,
mencuci pakaian, mempersilahkan orang yang buru-buru agar berjalan
duluan, semuanya bisa menjadi persembahan. Sejauh ia dilakukan untuk
memberi manfaat pada mahluk lain.
- Inilah sembah yang indah, serangkaian sembah yang diawali dengan
niat untuk melayani, diakhiri dengan doa semoga persembahan kita
mengurangi penderitaan semua mahluk. Ketika bersembahyang khususnya,
yakinlah kalau Anda datang untuk memberi. Sekurang-kurangnya memberi
senyuman. Syukur-syukur bisa mengulurkan tangan bantuan. Begitu
persembahyangan selesai, pancarkan rasa damai akibat pemberian Anda ke
semua arah. Seolah-olah semua mahluk dari butha, manusia sampai dewa
tersenyum menerima vibrasi kedamaian Anda.
- Dalam logika biasa, memberi akan membuat seseorang tidak mendapatkan
apa-apa. Paradoksnya, banyak yogi tingkat tinggi justru menjadi kaya
secara spiritual setelah banyak memberi. Pertama, dengan
memberi seseorang sedang belajar memperkecil ego sebagai sumber
penderitaan. Kedua, dengan pemberian manusia sedang belajar terhubung
secara kosmik dengan semuanya. Ketiga, ketika memberi sesungguhnya
manusia sedang belajar melepaskan.
- Seorang guru di India Utara pernah berpesan: We can live without
religion, but we can not live without compassion. Andaikan institusi
agama mengalami keruntuhan (sebagaimana dialami sebagian negara di
Barat), manusia masih bisa makan, minum, berobat. Namun perhatikan
putaran keseharian manusia. Setiap manusia dibuat oleh sepasang orang
tua yang saling menyayangi. Nasi dan sayur yang dimakan, berdiri di
atas kemiskinan petani. Para binatang bahkan lebih mengenaskan,
terpaksa mati untuk membuat manusia bisa makan daging. Dengan kata
lain, kehidupan manusia dibangun di atas tidak terhitung tumpukan kasih
sayang. Bila kemudian manusia lupa menyayangi, ia sesungguhnya sedang
melupakan orang tua spiritualnya.
- Merenung di atas tumpukan bahan seperti ini, mungkin ini saat yang
tepat untuk memaknakan ulang yadnya. Lebih dari memberi dan
menyayangi, yadnya adalah serangkaian langkah untuk belajar
melepaskan. Kematian menjadi menakutkan karena manusia belum terbiasa
melepaskan. Sebaliknya, siapa saja yang sudah terbiasa mengisi
keseharian dengan pemberian, meletakkan yadnya sebagai latihan
melepaskan, bukan tertutup kemungkinan bahkan kematian pun bisa
berwajah menawan. Dalam bahasa guru Tantra Milarepa: “death is not
death for a yogi, it’s just a little enlightenment”. Dalam kehidupan
yogi tingkat tinggi, kematian datang tidak diikuti ketakutan. Ia hanya
sebuah pengalaman kecil yang mencerahkan.
- Dalam kelompok yogi seperti ini, kematian berarti memberikan dan
melepaskan rumah, mobil, tabungan, nama baik. Sebagai hasilnya, di saat
kematian bisa mengalami kebahagiaan karena melihat anak-anak dan para
mahluk berbahagia dengan seluruh pemberian serta peninggalan kita. Bila
begini cara meninggalnya, kematian berubah wajah menjadi yadnya.
Sembah yang teramat indah
- Bagi yang sudah sampai di sini, banyak sekali pesan simbolik yang
diwariskan tetua yang tiba-tiba bisa dibaca. Di kepala pulau Bali,
tetua memberi nama desa dengan Kubutambahan. Kubu artinya rumah, tambah
maknanya positif. Sederhananya, rumah untuk orang-orang yang berfikir
positif.
- Di kaki pulau Bali di mana matahari kerap terbit sambil bercumbu
dengan puncak gunung Agung, tetua memberi nama desa dengan Sanur. Sa
dalam bahasa Bali berarti satu. Nur tidak lain adalah cahaya. Cahaya
yang satu!. Bagi mereka yang membekali hidupnya dengan bakti, cahaya
itu akan menjadi pembimbing dalam langkah keseharian.
- Tempat di mana banyak sekali manusia dari seluruh dunia datang
merindukan penyembuhan adalah Ubud (ubad alias obat). Dan ia terletak
di Bali Tengah. Dirangkai menjadi satu, langkahkanlah kaki diterangi
cahaya yang satu, isi kepala dengan hal-hal positif. Sebagai hasilnya,
hidup pun menjadi tercerahkan (tersembuhkan secara sempurna). Tandanya,
selalu berjalan di jalan tengah, menghindari semua hal ekstrim. Dan
puncak perjalanan di jalan tengah bernama Embang, Shunya, Suwung,
Parama Shanti.
- Seorang guru yang sudah menyentuh Embang, pernah ditanya apakah
beliau akan terlahir kembali?. Dengan lembut beliau menjawab: “Saya
akan terlahir di tempat di mana saja dibutuhkan. Termasuk bila
dibutuhkan di alam binatang”. Sementara kebanyakan orang berlatih
spiritual untuk buru-buru membebaskan dirinya dari siklus kelahiran,
guru ini malah mencari tempat lahir di mana pertolongannya dibutuhkan.
- Inilah sembah yang teramat indah. Tidak lagi menyembah untuk
kebahagiaan apa lagi kekayaan diri sendiri, melainkan menyembah untuk
keselamatan dan kebahagiaan pihak lain. Dan kita orang biasa bila belum
bisa berdoa agar terus menerus terlahir untuk membantu, cukup melakukan
tindakan-tindakan kecil tidak dikenal. Dari mematikan keran air atau
saklar lampu yang lupa dimatikan, meminggirkan kayu di tengah jalan
yang bisa membahayakan pengendara sepeda motor, menyayangi keluarga,
menghormati atasan, pelanggan dan orang tua, dan masih banyak lagi yang
lain.
- Intinya cuma satu, membuat hidup berguna dan bermakna bagi pihak
lain. Bila begini caranya menyembah, maka semua tempat adalah tempat
ibadah, semua kegiatan menjadi kegiatan menyembah. Semua langkah
membuat semakin dekat dengan leluhur spiritual orang Bali yang bernama
persembahan. Dan tentu bukan kebetulan bila salah satu arti Shiva
adalah kebaikan. Dan lebih tidak kebetulan lagi, bila guru besar Mpu
Kuturan meletakkan Shiva di pura Dalem. Siapa saja yang lapar
melaksanakan kebaikan, menemukan kedamaian dengan melaksanakan
kebaikan, sesungguhnya sudah berjumpa Shiva di dalam dirinya.
No comments:
Post a Comment