Titik jenuh, boleh saja diidentikan dengan tingkat kebosanan yang
cukup tinggi. Tingkat kejenuhan dan tingkat kebosanan adalah hal yang
tidak jauh berbeda. Dalam bahasa anak muda nya disebut "sebelas duabelas".
Oleh karena itu, jika ada orang yang menyatakan sudah sampai ke titik
jenuh, maka apa yang dikemukakan nya itu telah menjadi tidak menarik
atau sudah tidak lagi menjadi perhatian banyak pihak.
Dalam mengamati kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat,
kelihatan nya kasus Bank Century, kasus Suap Cek Pelawat dan kasus Suap
Wisma Atlet sudah mulai "ditinggalkan" oleh para penggemar nya.
Orang-orang terkesan sudah jenuh karena "ending" nya yang tak kunjung
tiba. Masyarakat banyak yang kecewa akan proses penuntasan kasus nya
yang dinilai terlampau bertele-tele.
Mandeg nya kasus
Bank Century, ditetapkan nya Miranda Gultom sebagai tersangka dalam
kasus Suap Cek Pelawat atau ditersangkakan nya Angelina Sondakh, rupa
nya tidak mampu memberi kepuasan maksimal kepada publik. Boleh jadi,
publik menuntut lebih dan bukan hanya sekedar menetapkan orang tertentu
sebagai tersangka saja.
Memang, dalam langkah
penegakan hukum beberapa kasus terbilang tuntas. Sebut saja kejadian
dibui nya besan Presiden Sby beberapa waktu lalu, mempertontonkan
kepada publik bahwa Pemerintah tidak main-main dalam memerangi korupsi
di negeri ini. Sosok sekaliber Aulia Pohan yang nota bene besan nya RI
1 pun tetap dijerat hukum sekira nya terbukti salah dalam mengelola
uang rakyat.
Masyarakat sendiri, rupa nya butuh hal-hal
baru. Mulai ditemukan nya indikasi pelebaran kasus Wisma Atlet ke
beberapa tokoh Partai Golongan Karya dan bahkan kader-kader partai
politik lain, boleh jadi bakal menarik lagi perhatian publik yang
tampak sudah jenuh jika hanya mendengar celotehan seorang Nazaruddin.
Walau masih harus dibuktikan soal keterlibatan politisi muda Partai
Golkar Azis Samsudin dalam kasus Proyek Pembangunan Kawasan Pusat
Kegiatan Pengembangan dan Pembinaan Terpadu SDM Kejaksaan Agung atau
Adyaksa Center sebesar Rp.567,9 milyar, masyarakat pasti ingin
mengetahui tentang isu tersebut.
Masalah nya menjadi
semakin mengasyikkan tatkala politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul
berkomentar bahwa "badai Demokrat akan segera berlalu. Sekarang
mengarah ke kuning (Golkar) dan warna-warna lain nya". Terlepas benar
atau tidak nya pernyataan Ruhut diatas, namun sebagai sinyal politik,
kita dapat menangkap sebuah kesan bahwa masing-masing partai politik di
DPR sebenar nya memiliki "jatah" untuk rame-rame "memainkan uang
rakyat".
Nasib sial lah yang melanda Partai Demokrat. Partai
yang didirikan Presiden Sby ini, terpaksa harus tampil duluan ke
tengah-tengah publik karena kecerobohan seorang Nazaruddin dan
teman-teman sejawat nya dalam memainkan proyek-proyek pembangunan.
Semua memang telah terang benderang. Kasus Nazaruddin adalah kepunyaan
Partai Demokrat. Persekongkolan nya jelas. Kelembagaan Negara nya juga
dinakhkodai oleh kader Partai Demokrat. Anggota DPR yang ada di Komisi
mitra Pemerintah nya pun jelas. Semua menggumpal jadi satu kekuatan dan
makin memperjelas kolaborasi nya.
Akhir nya, andai
nyanyian Nazar ini berimbas juga ke partai politik lain di luar
Demokrat, maka bisa jadi kata-kata Nazar yang menyatakan "bisa bubar
republik" ini, mungkin ada betul nya juga. Itu sebab nya, jika isu nya
bergeser ke arah ini, bisa-bisa titik jenuh publik pun bakal mencair
dan ingin menyaksikan episode selanjut nya. ~SUARA RAKYAT
No comments:
Post a Comment