Bencana adalah bagian dari seleksi alam
Gempa bumi dengan kategori kekuatan
besar dan menghancurkan tetap bekerja sebagai seleksi alam, serta
gerakan harmonisasi alam semesta. Di mana alam semesta beserta
penghuninya mengalami perubahan-perubahan dan gerak tarik-ulur, dan
saling tarik menarik. Antara gerakan negatif-destruktif dengan gerakan
positif konstruktif. Untuk kasus gempa bumi, sisi misteriusnya adalah,
gempa bumi merupakan gejolak amuk alam tetapi bukan berarti terjadi
disorder dan disharmoni alam semesta. Sebaliknya biasanya tetap berlaku
rumus keadilan. Alam bergolak TIDAK DENGAN CARA PENGECUT. Gejolak alam
TIDAK akan berlangsung secara diam-diam atau mencuri-curi kesempatan
bak seorang pecundang. Sebaliknya, alam semesta menjalankan
“permainan” secara fairplay, sebelumnya selalu bersuara lantang
menyampaikan pesan-pesan kepada seluruh penghuninya, meliputi hutan,
gunung, sungai, dimensi gaib dengan makhluk halus penghuninya, serta
binatang dan manusia. Seluruh isi dan makhluk penghuni bumi ini, pada
kenyataannya MANUSIALAH YANG PALING NDABLEK, MATA & TELINGANYA
sengaja dibuat TULI hanya karena alasan berlebihan takut tergoda
bujukan setan yang gemar menyesatkan iman. Padahal setan itu melekat
sejak akil baliq (usia dewasa) pasti bersemayam di dalam tubuh setiap
insan, sebab setan itu tiada lain kiasan untuk nafsu negatif manusia,
“setan” sebagai gambaran nilai-nilai negatif yang paradoksal kebalikan
dari nilai-nilai “ketuhanan” yang serba positif. Ketakutan berlebihan
itu, pada kenyataannya hanya menghasilkan kesadaran jahiliah, kesadaran
yang terkungkung oleh unsur jasadiah meliputi rasio dan emosi nafsu
negatif, namun sudah merasa diri orang paling benar di dunia.
Ilmu-ilmu dan alat-alat untuk membaca
pesan-pesan alam telah lama ditinggalkan manusia. Ngelmu titen, ngelmu
kawaskitan, dll yang dijadikan sarana membaca warning dalam bahasa alam
dianggap sumber musrik dan tahyul oleh manusia-manusia picik dan
dangkal kesadarannya hanya karena tidak memakai bahasa tanah suci.
Padahal ilmu-ilmu tersebut sangat ilmiah bila dijelaskan secara
komprehensif dan esensial. Ilmu yang mampu untuk mencermati apa yang
menjadi kehendak Tuhan. Bila kita mampu membaca pesan-pesan dalam
bahasa alam, maka kita akan weruh sadurunge winarah/tahu sebelum terjadi. Menjadikan kita
lebih hati-hati dan waspada, mengerti dengan betul-betul apa yang harus
dilakukan dengan arif dan bijaksana. Lantas apa manfaatnya jika kita
menafikkan ilmu-ilmu untuk membaca bahasa Tuhan ? Bukanlah menjadi
tidak sesat dan iman tergoda, namun hasilnya tidak lain adalah
kegagalan untuk bisa “nggayuh kawicaksananing Gusti/membaca kebijaksanaan tuhan”. Jadi orang yang
kagetan dan gumunan, dan tidak tahu akan dirinya yang sejati.
Manusia-manusia yang berwatak gumunan/terheran
dan kagetan mudah bersikap gegabah bilamana bencana dahsyat (mega
disaster) benar-benar melanda seantero negeri ini. Menjadi orang yang
tak pernah menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Kini zaman
serba terbalik (wolak-waliking zaman), di mana orang suci dianggap
kotor, orang kotor dianggap suci. Bandit menjelma bagaikan syeh,
sebaliknya “syeh” yang sebenarnya justru diruduh sebagai seorang bandit
yang kafir. Ulama spiritual sejati diangap sebagai orang sesat,
sementara itu orang yang benar-benar keblinger dianggap orang pinter
(alim). Tampilan kulit luar nan mempesona, yang indah manakjubkan
dianggapnya sebagai isi dan tujuan yang dicari selama ini. Sedangkan
isi yang sesungguhnya berujud belatung, namun dibayang-bayangkan
sebagai “madu murni asli sumbawa”. Wolak-waliking zaman !! Banyak orang
merasa diri bersih, suci, bener, pener, pas, soleh-solikah, padahal
dirinyalah yang termasuk orang-orang keblinger itu. Dikiaskan dalam
jongko sebagai setan yang berlagak manusia soleh: Ono setan riwa-riwa
minda manungsa anggawa agama. Akeh kang padha katambuhan. Ada “setan
berbulu” yang berlagak menjadi manusia yang ahli agama (alim ulama).
Banyak orang yang tertipu tetapi tidak merasa tertipu. Itulah
tanda-tanda zaman di saat ini. Alam pun menyambutnya dengan gebrakan
dahsyat, gempa bumi, banjir besar, tsunami, distorsi cuaca yang sangat
gawat, wabah penyakit aneh (pagebluk). Di mana-mana banyak perang
karena emosi angkara manusia berebut CARI BENERNYA SENDIRI, cari
butuhnya sendiri, cari menangnya sendiri. Dalam bertuturpun tanpa
ampun, hati tega nian gemar menghakimi orang lain secara sadis dan
hina, dengan hanya berdasarkan keyakinan asal-asalan, bukan menghakimi
dengan data otentik dan kesaksian pasti nan sejati. Seolah dirinya tahu
segalanya akan hakekat kehidupan sejati, seolah-olah pernah mati dan
pernah menjelajah di alam kehidupan sejati. Padahal dasar pengetahuan
dan keyakinannya sangat lemah, hanya katanya/omonge, ujare, ceunah ceuk ceunah,
kabar kabur, kabur-kanginan. Sebaik apapun keyakinan tetap saja sekedar
KONSEP BERFIKIR dan konsep beryakin (menata hati untuk percaya saja).
Tak peduli walau dirinya tak pernah mengalami dan menyaksikan sendiri
akan nilai-nilai ketuhanan. Just never say that : “keyakinan itu hanya
perlu diyakini saja, karena manusia MUSTAHIL bisa tahu apa yang terjadi
di alam kehidupan sejati, jika belum pernah mati. Kalimat itu, hanya
berlaku bagi :
-
Siapapun yang enggan mengolah rahsa sejati. Yang hanya mengandalkan
kesadaran jasadiah, meliputi kesadaran rasio yang teramat terbatas
kemampan nalarnya.
-
Siapapun yang kesadaranya didominasi oleh kekuatan emosi / nafsu-nafsu negatif.
-
Berlaku bagi siapapun yang tidak mengenal konsep “setan” dengan sungguh-sungguh.
-
Bagi siapapun yang terjebak oleh belenggu ketakutan berlebihan akan sesat dan godaan iman.
-
Siapapun yang kesadarannya terbelenggu oleh dogma-dogma yang penuh intimidasi dosa-nerakawi dan iming-iming pahala-surgawi. (be spiritual, not be religious).
Sementara itu, sebuah tradisi lama
leluhur bangsa ini telah membutikan bahwa tanpa harus mati terlebih
dulu, sebenarnya manusia diberikan kesempatan “melongok” apa yang
sesungguhnya terjadi di dalam panggung “alam kelanggengan” di mana
terdapat kehidupan sejati, yang langgeng tan owah gingsir. belajarlah mati selagi masih hidup, biar tidak menjadi manusia radikal dan kagetan.
No comments:
Post a Comment