Menarik sekali apa yang disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD tentang "kebun koruptor".
Pandangan yang sedikit nyeleneh ini, boleh jadi merupakan sebuah
"terobosan" dalam pemberantasan korupsi di negeri ini, setelah berbagai
macam cara yang dilakukan selama ini dinilai belum sesuai dengan yang
diharapkan. Lebih sedih lagi, ternyata praktek-praktek korupsi pun
tetap semarak di berbagai kelembagaan Pemerintah. Termasuk juga aparat
yang ditugaskan untuk berada di garda paling depan dalam pemberantasan
korupsi itu sendiri.
Kasus yang menimpa Sistoyo seorang Jaksa di Kejaksaan Negeri Cibinong, Bogor, Jawa Barat,
adalah sebuah bukti bahwa di tubuh aparat penegak hukum sendiri,
praktek-praktek penyalah-gunaan wewenang dan kekuasaan masih sering
terjadi. Belum lagi kasus yang menimpa seorang Hakim yang dipecat oleh
Mahkamah Agung, dikarenakan yang bersangkutan meminta ke seorang
Pengacara untuk disediakan "Penari Telanjang". Berdasar info, sebetul
nya masih ada 4 orang "Hakim Cabul" yang belum di proses. Mengenaskan
sekali, bukan ?
Lalu kepada siapa lagi bangsa ini
akan menggantungkan harapan dalam pemberantasan korupsi di negeri ini ?
Apakah ke Komisi Pemberantasan Korupsi ? Ini juga banyak diragukan. KPK sendiri seolah-olah "kalah wibawa"
jika harus berhadapan dengan kasus-kasus spesial seperti Bank Century.
Atau kasus nya Nunun Nurbaitri. Bahkan dalam penanganan korupsi mantan
Bendahara Partai Demokrat Nazarudin pun terkesan berjalan lambat.
Memang kasus-kasus tersebut tidak jalan ditempat, hanya apa tidak ada
terapi yang lebih baik, agar gerakan nya KPK dalam menuntaskan
kasus-kasus tersebut tidak seperti keong yang sedang berjalan.
Beberapa kalangan malah cenderung pesimis jika melihat siapa yang
menjadi operator KPK itu sendiri. Rata-rata ya polisi dan jaksa juga.
Bisa jadi cerita nya bakal menjadi lain, jika yang menjadi ujung tombak
KPK di lapangan adalah para "pendekar hukum" yang benar-benar
independen, amanah dan cerdas, juga tidak pernah tercatat dalam
kelembagaan yang sekarang ini sudah tidak kredibel di mata masyarakat.
"Kebun Koruptor" yang ide dasar nya tidak jauh berbeda dengan "Kebun Binatang",
boleh jadi merupakan bentuk lain dari saksi hukum yang dikemas dalam
semangat sanksi sosial. Arti nya, jika penertiban secara hukum ternyata
tidak ampuh untuk menimbulkan efek jera, kelihatan nya tidak keliru
juga bila dalam pencarian terobosan yang lebih efektip, dikaitkan
dengan saksi sosial. Persoalan nya adalah apakah kalau gagasan semacam
ini diterapkan, maka nanti nya bakal ada orang yang membela para
koruptor ?
Korupsi jelas musuh semua bangsa. Di dunia
ini tidak akan ada satu negara pun yang membebaskan pemimpin nya untuk
melakukan korupsi. Itu sebab nya, jika masih ada yang membela koruptor,
bahkan sampai mati-natian, maka yang bersangkutan ini perlu
dipertanyakan komitmen nya dalam membangun bangsa dan negara
sebagaimana yang diamanatkan dalam cita-cita nasional kita. Di sana
tidak ada satu kalimat pun yang isi nya melindungi koruptor. Malah yang
dapat kita tangkap adalah setiap orang memiliki kedudukan yang sama di
mata hukum. Pemenjaraan Aulia Pohan yang nota bene adalah Besan
Presiden Sby, membuktikan bahwa hukum itu tidak pilih kasih. Siapa yang
berbuat harus berani dipertanggungjawabkan nya.
Sebagai sebuah ide, penerapan "Kebun Koruptor" dalam meningkatkan
percepatan memerangi korupsi, tentu perlu kita dukung dengan sepenuh
hati. Tinggal bagaimana pengejawantahan nya di lapangan. "Kebun
Korupsi" seperti apa yang sebaik nya dibangun di negeri ini ? Apakah
semodel Kebun Binatang di Ragunan dengan berbagai modifikasi yang lebih pas untuk dihuni oleh para koruptor ? Atau semodel Disney Land,
dimana akan kita saksikan para koruptor yang sedang menebus dosa ?
Terlepas dari semua pilihan yang ada, rasa-rasa nya semangat membangun
"kebun koruptor" sebagaimana yang digelindingkan Ketua MK diatas, pada
inti nya tetap ingin membuat "rajutan" antara sanksi hukum dengan saksi
sosial-budaya. ~SUARA RAKYAT
No comments:
Post a Comment