Perempuan dalam pasungan itu tergeletak di pojok ruang tengah, di
atas lantai, dekat dapur sebuah rumah tua. Pergelangan dua kaki, juga
seluruh hidupnya, terikat kuat pada balok kayu berat sepanjang 1,5
meter. Pandangan matanya kosong. Hari itu dia tak sedang mengamuk.
Orang-orang
di desa itu, Kampung Pasirbitung, Purabaya, Sukabumi mengenal namanya:
Wiwin Winarti. Tapi dia kini seperti hidup di jagad berbeda.
”Sudah makan?”, ujar VIVAnews menyapa tatkala mengunjunginya, Kamis pekan lalu.
“He-he-he,” dia tak menjawab, hanya menyeringai. Lalu pecah derai tawa. Tatapan matanya kosong.
Sejak
2005, sudah tujuh tahun, dia nyaris tak beranjak dari titik itu.
Ditemani tiga benda yang selalu ada di sisinya: tikar melapisi lantai
yang dingin, selimut motif garis-garis yang menghangatkannya kala
malam, dan botol berisi air yang ditenggak saat haus.
Bagi perempuan itu, dunia hanya enam petak tegel coklat itu. Makan, mandi, hingga kakus ia lakukan di sana.
Hanya
sesekali ia dilepas dari pasungan, itu dulu, saat ia masih dibawa
berobat ke dokter. Kembali ke rumah, berarti kembali ke pasungan. Ia
selalu melawan, mengamuk sejadi-jadinya, tapi toh selalu kalah.
Wiwin
Winarti adalah anak pertama empat bersaudara pasangan Jaya (43) dan
Itoh (40). Sebelum tergeletak tak berdaya, ia adalah tulang punggung
perekonomian keluarga. Menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang.
Debut pertamanya pada 2004 silam, ke Arab Saudi.
Sepulang dari
negeri “petro dolar” itulah, ia mulai bersikap aneh. “Gejala penyakit
Wiwin sebetulnya terlihat sehabis pulang dari Arab Saudi. Namun waktu
itu bisa disembuhkan, dan kembali normal,” kata ayahnya, Jaya.
Setahun
berikutnya, ia pindah tempat kerja, ke Dubai, lalu ke Kuwait. Pulang
dari lokasi rantau ketiga, penyakitnya kambuh. “Ia sering mengamuk, dan
merusak barang.”
Dua orang tuanya mengaku, terpaksa memasungnya,
sebuah tradisi yang sebetulnya diharamkan di Indonesia sejak 1976.
Alasannya, demi keselamatan Wiwin. “Khawatir ketika ngamuk badannya
terluka,” kata Jaya, menghela nafas berat.
Tak jelas mengapa
Wiwin sampai patah jiwanya. “Kami belum tahu pasti penyebab Wiwin
begini. Kami tak pernah mendengar Wiwin selama bekerja di Timur Tengah
disiksa, atau mendapat perlakuan apapun dari majikannya,” ujar Jaya.
Segala
upaya telah dilakukan keluarga menyembuhkan Wiwin. Dengan fasilitas
bantuan pemerintah, dia dibawa berobat ke RUSD R Syamsudin Kota
Sukabumi. Saat itu, Wiwin dinyatakan sembuh. “Tapi penyakitnya kini
kembali kambuh. Dia sering mengamuk,” kata Jaya. “Sekarang kami hanya
bisa berharap agar kondisi Wiwin normal kembali.”
Menggorok leher
Aisah
binti Jubaedi sedang duduk manis di depan televisi. Perempuan 38 tahun
itu menonton tayangan sinetron. Melihat kedatangan VIVAnews, dia
terkesiap. Aisah cepat bangkit, lalu lari masuk ke kamarnya di pojok
rumah.
Brak! Pintu kamar ia banting.
“Aisah emang begitu kalau ada orang baru datang, dia langsung mengunci diri di kamarnya,” kata Jubaedi, ayahnya.
Kamar
tak seberapa besar itu adalah teritori Aisah. Sekaligus bunker
pribadinya. Tak ada yang boleh masuk ke ruangan berantakan, mirip kapal
pecah itu. “Kalau jendela kamarnya dibuka apa lagi diberesin sama
ibunya, dia suka cemberut, dan ngacak-ngacak kamar lagi sambil nutup
jendela,” kata lelaki 75 tahun itu.
Meski belum sepenuhnya
normal, Jubaedi bersyukur kondisi putrinya relatif membaik, setelah
mendapatkan perawatan pada Juli-Agustus 2001, atas bantuan Serikat
Buruh Migran Indonesia (SBMI). Setiap bulan ia masih rutin konseling
dan terapi ke RSUD Dokter Syamsudin melalui fasilitas Jamkesmas.
Aisah
pun tak lagi dipasung. “Dia sudah tidak perlu dipasung lagi, nggak
pernah ngamuk. Sekarang dia kerjanya menutup diri di kamar, sesekali
keluar buat nonton sinetron,” ujar Jubaedi.
Apa yang membuat
jiwa Aisah terganggu? Ingatan pria paro baya itu kembali melayang ke
tahun 2005 lalu. Ke titik balik hidup putrinya.
Keterbatasan
ekonomi dan cita-cita menyekolahkan putranya hingga tinggi membuat
perempuan Desa Jambe Nengah, Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi
itu nekat merantau ke Kuwait. Di negeri kaya raya, ia justru terlunta,
menanggung beban kerja berat, dan siksaan sadis majikannya.
Tak
kuat, akhir 2005, Aisah akhirnya pulang ke kampung halamannya. “Dia
bicara, katanya sering dipukuli majikannya saat kerja di Kuwait. Bahkan
ia pernah disiksa sampai diinjak-injak saat berada di penampungan
karena melarikan diri dari majikan,” kata Jubaedi.
Berharap
mendapat topangan jiwa di rumah, perasaan Aisah justru hancur lebur.
Suami yang ia cintai, yang selalu menerima kiriman uangnya dari rantau,
menyeleweng, dan menikahi perempuan lain. Lelaki itu bahkan tega
menelantarkan putra sulung mereka, Iqbal.
Aisah depresi berat.
“Dia mulai melamun dan menyendiri semenjak pulang. Melihat suaminya
kawin lagi, dan anaknya tidak meneruskan sekolah setelah lulus SMP
karena tidak ada biaya,” ungkap Jubaedi.
Awalnya, Aisah ingin
kembali merantau ke luar negeri mencari uang untuk hidup anak-anaknya.
Belum sampai niatnya terlaksana, pukulan telak kembali ia terima.
Beberapa petak sawah hasil memeras keringat jadi pembantu, yang
rencananya akan dijadikan modal berangkat lagi ke luar negeri, sudah
dijual suaminya tanpa sepengetahuannya dan keluarga.
Harapannya
sontak runtuh, ia makin terpuruk. Sejak saat itulah, Aisah mulai
mengamuk dan merusak apapun di dekatnya. Tak hanya keluarga, para
tetangganya pun resah.
Perilaku Aisah makin lama makin
mengkhawatirkan. “Sekitar pertengahan 2006 dia ngamuk dengan membawa
golok. Dia naik ke atas genteng mau bunuh diri. Kami sekeluarga takut
dan coba merayu. Semua warga keluar coba nangkap Aisah. Setelah
kejadian itu keluarga terpaksa memasung Aisah di kamar belakang rumah.
Kami takut dia ngamuk lagi,” Jubaedi mengisahkan.
Meski kondisi
Aisah lebih baik dari sebelumnya, kalau boleh jujur, Jubaedi lelah
mengurus putrinya yang tak kunjung normal. Di usia senjanya, ia juga
masih harus banting tulang membiayai anak-anaknya, juga cucu.
Penghasilannya tak seberapa. Dia bergantung dari warung kecil di
samping rumah. “Saya sudah kewalahan,” kata dia, lirih.
Rumah tanpa kaca
“Saya
sekarang sudah waras dan sehat,” ujar Fatimah binti Jujiri, optimistis.
Pada awal Januari 2012, berdasarkan uji medis dan psikologis, ia
dinyatakan sembuh dari depresi berat.
Saat ditanya, apa yang
membebani hatinya saat itu, perempuan 38 tahun itu mengaku lupa. Ia
juga tak berusaha mengingat apa yang terjadi. “Saya baru sadar dan
mengenali semua setelah dirawat di RSJ Bogor tahun 2008. Saya hanya
ingat di sana kalau mau makan mesti rebutan dan sedikit. Terus di
bolehkan pulang ke rumah,” kata janda beranak dua ini, tersenyum,
menggendong putri bungsunya berusia 9 bulan. “Sekarang saya ingin
mengurus anak saya, dan memperbaiki rumah yang saya rusak.”
Fatimah
tinggal bersama dua putri dan orang tuanya bekerja sebagai buruh tani.
Di bangunan semi permanen, ukuran 8 x 12 meter, berkamar dua di RT
03/06, Kebon Pedes, Sukabumi.
Rumah itu tanpa kaca. “Semua
kaca rumah habis. Katanya saya lemparin sama saya pukulin. Saya juga
nggak ingat. Sekarang rumah saya paling jelek, dan satu-satunya rumah
yang nggak ada kacanya di kampung ini,” dia bercerita sambil tersenyum.
Daripada
merenungi nasib, Fatimah memilih menyibukkan diri. Menggembala tiga
ekor kambing dan membantu kegiatan sosial di lingkungannya, sesekali ia
berdagang keliling. “Semenjak keluar dari RSJ Bogor saya ngurus
kambing, keluarga, dagang sama bantu sana-sini. Saya punya kegiatan
yang bisa bantu keluarga,” kata dia.
Selain itu, ia juga turun
mencari rumput, sambil mengasuh si bungsu. “Sekarang kambing saya ada
tiga, padahal dulu cuma dua. Oh ya, saya juga punya satu lagi, tapi
sudah dijual buat syukuran anak saya yang bungsu,” ujarnya, bangga.
Dari
Jejen (45), saudara dekatnya, masa lalu kelam Fatimah terkuak.
“Fatimah dipulangkan dari Mekkah sekitar bulan November 2007. Dia cuma
kerja delapan bulan. Mestinya dua tahun sesuai kontrak,” kata dia.
Menurut
yang mengantar saat itu, Fatimah dipulangkan karena sering mengamuk di
rumah majikannya. Fatimah saat itu tak lagi ceria. Ia sering ngomong
sendiri, mengoceh tentang majikannya galak. “Saat kerja dimarahin
terus, apa yang dikerjakan selalu salah. Dia mengaku dipukuli pakai
tongkat,” kata dia.
Tingkah Fatimah pun makin tak terkendali.
“Dia sering ngamuk merusak rumah, main pukul dan melempar
rumah,”ujarnya. Kemudian keluarga meminta bantuan ke berbagai pihak
terutama LSM. Dari situ keluarga Fatimah mendapatkan bantuan berupa
rujukan perawatan dan Jamkesmas serta Jamkesda. Pada akhir 2008,
Fatimah di rawat di RSJ Bogor selama tiga bulan. Di lalu dibolehkan
pulang, dan berobat jalan.
Bukan hanya Sukabumi
Cerita
para perempuan buruh migran yang menderita depresi berat sepulang
bekerja di luar negeri ini juga diungkap Serikat Buruh Migran Indonesia
(SBMI). Sebagian kecil korban berada di Sukabumi.
“Hingga
akhir Januari 2012, kami telah mendata dan menerima laporan 96 TKI asal
Sukabumi mengalami depresi,” kata Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia
(SBMI) Sukabumi, Jejen Nurjanah, pada VIVAnews.com.
Mereka stres
hingga depresi, dan terpaksa dipasung oleh keluarganya. Bahkan
mencoba mengakhiri hidupnya. Jejen mengatakan, meski belum ada laporan
TKI bunuh diri, upaya ke sana sering ditemukan. “Bahkan kami telah
melakukan pendampingan lebih dari 70 kasus sejak 2009,” dia
menambahkan.
Ada banyak faktor membuat mereka putus harapan:
siksaan fisik majikan, tekanan mental berupa makian, dan perlakuan tak
menyenangkan, pelecehan seksual, hingga pemerkosaan. Soal lainnya:
suami selingkuh, harta hasil kerja keras justru dibuat kawin lagi, atau
perasaan bersalah karena menganggap telah membuat anak terlantar.
Jejen
mengingatkan, data yang mereka kumpulkan baru lingkup kecil di
Sukabumi. Itupun belum semuanya. Baru sebatas hasil temuan, dan
pengaduan masyarakat.
“Masih banyak yang belum tersentuh karena berbagi kendala seperti
jarak dan anggaran yang kami miliki. Hasil advokasi kami hanya di
kisaran 70 persen realita yang ada, di Sukabumi,” kata dia. Validitas
data sangat sulit, sebab, pemerintah Sukabumi saja tidak punya angka
TKI pasti yang berangkat ke luar negeri.
Ia menduga ada upaya
menutupi para TKI menderita tekanan jiwa, termasuk dari pihak keluarga.
“Biasanya mereka cendrung menutup diri dan mengasingkan hingga memasung
di tempat tersembunyi.
Menanggapi temuan LSM, Pemerintah Daerah
(Pemda) Kabupaten Sukabumi menuntut pertanggungjawaban BNP2TKI dan
PJTKI yang memberangkatkan para TKI. “Kami sedang memproses data hasil
advokasi SBMI ke BNP2TKI. Kami menuntut pertanggung jawaban BNP2TKI dan
PJTKI dalam memulihan jiwa para mantan TKI yang mengalami depresi,”
tegas Kepala Dinas tenaga Kerja dan Tansmigrasi (Disnakertrans)
Sukabumi, Aam Ammar Halim pada VIVAnews.com.
Lalu apa kata Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)?
Dituding
sebagai pihak yang harus bertanggungjawab, Kepala BNP2TKI, Jumhur
Hidayat menjelaskan, lembaganya hanya menangani TKI bermasalah yang
baru pulang ke Indonesia. Itu termasuk mereka yang punya soal
kejiwaan. “Kami kirim ke RS Polri, periksa sampai depresi hilang, baru
pulang ke rumah,” kata dia.
Soal kasus mantan buruh migran
yang masih mengalami masalah kejiwaan di Sukabumi, Jumhur menduga,
mereka kambuh. “Mungkin saat itu kelihatan baik, tapi pas pulang
kambuh lagi bisa saja,” ujar Jumhur.
Apa mereka yang sudah
pulang kemudian lalu depresi menahun masih difasilitasi berobat oleh
badan itu? “Itu bukan tugas BNP2TKI lagi. Itu sudah lepas. Kalau nggak
salah dibawah Depsos, karena kasus pemasungan bukan hanya TKI. Tapi ada
juga yang bukan TKI,” ujar Jumhur. ~VIVAnews
No comments:
Post a Comment