Monday, February 20, 2012

Derita TKI yang Dipasung

Perempuan dalam pasungan itu tergeletak di pojok ruang tengah, di atas lantai, dekat dapur sebuah rumah tua. Pergelangan dua kaki, juga seluruh hidupnya, terikat kuat pada balok kayu berat sepanjang 1,5 meter. Pandangan matanya  kosong. Hari itu dia tak sedang mengamuk.

Orang-orang di desa itu, Kampung Pasirbitung, Purabaya, Sukabumi mengenal namanya: Wiwin Winarti. Tapi dia kini seperti hidup di jagad berbeda.

”Sudah makan?”, ujar VIVAnews menyapa tatkala mengunjunginya, Kamis pekan lalu.

“He-he-he,” dia tak menjawab, hanya menyeringai. Lalu pecah derai tawa. Tatapan matanya kosong.


Sejak 2005, sudah tujuh tahun, dia nyaris tak beranjak dari titik itu. Ditemani tiga benda yang selalu ada di sisinya: tikar melapisi lantai yang dingin, selimut motif garis-garis yang menghangatkannya kala malam, dan botol berisi air yang ditenggak saat haus.

Bagi perempuan itu, dunia hanya enam petak tegel coklat itu. Makan, mandi, hingga kakus ia lakukan di sana.

Hanya sesekali ia dilepas dari pasungan, itu dulu, saat ia masih dibawa berobat ke dokter. Kembali ke rumah, berarti kembali ke pasungan. Ia selalu melawan, mengamuk sejadi-jadinya, tapi toh selalu kalah.

Wiwin Winarti adalah anak pertama empat bersaudara pasangan Jaya (43) dan Itoh (40). Sebelum tergeletak tak berdaya, ia adalah tulang punggung perekonomian keluarga. Menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang. Debut pertamanya pada 2004 silam, ke Arab Saudi.

Sepulang dari negeri “petro dolar” itulah, ia mulai bersikap aneh. “Gejala penyakit Wiwin sebetulnya terlihat sehabis pulang dari Arab Saudi. Namun waktu itu bisa disembuhkan, dan kembali normal,” kata ayahnya, Jaya.

Setahun berikutnya, ia pindah tempat kerja, ke Dubai, lalu ke Kuwait. Pulang dari lokasi rantau ketiga, penyakitnya kambuh. “Ia sering mengamuk, dan merusak barang.”

Dua orang tuanya mengaku, terpaksa memasungnya, sebuah tradisi yang sebetulnya diharamkan di Indonesia sejak 1976. Alasannya, demi keselamatan Wiwin. “Khawatir ketika ngamuk badannya terluka,” kata Jaya,  menghela nafas berat.

Tak jelas mengapa Wiwin sampai patah jiwanya. “Kami belum tahu pasti penyebab Wiwin begini. Kami tak pernah mendengar Wiwin selama bekerja di Timur Tengah disiksa, atau mendapat perlakuan apapun dari majikannya,” ujar Jaya.

Segala upaya telah dilakukan keluarga menyembuhkan Wiwin. Dengan fasilitas bantuan pemerintah, dia dibawa berobat ke RUSD R Syamsudin Kota Sukabumi. Saat itu, Wiwin dinyatakan sembuh. “Tapi penyakitnya kini kembali kambuh. Dia sering mengamuk,” kata Jaya. “Sekarang kami hanya bisa berharap agar kondisi Wiwin normal kembali.”

Menggorok leher
Aisah binti Jubaedi sedang duduk manis di depan televisi. Perempuan 38 tahun itu menonton tayangan sinetron. Melihat kedatangan VIVAnews, dia terkesiap. Aisah cepat bangkit, lalu lari masuk ke kamarnya di pojok rumah.

Brak! Pintu kamar ia banting.

“Aisah emang begitu kalau ada orang baru datang, dia langsung mengunci diri di kamarnya,” kata Jubaedi, ayahnya.

Kamar tak seberapa besar itu adalah teritori Aisah. Sekaligus bunker pribadinya. Tak ada yang boleh masuk ke ruangan berantakan, mirip kapal pecah itu. “Kalau jendela kamarnya dibuka apa lagi diberesin sama ibunya, dia suka cemberut, dan ngacak-ngacak kamar lagi sambil nutup jendela,” kata lelaki 75 tahun itu.

Meski belum sepenuhnya normal, Jubaedi bersyukur kondisi putrinya relatif membaik, setelah mendapatkan perawatan pada Juli-Agustus 2001, atas bantuan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Setiap bulan ia masih rutin konseling dan terapi ke RSUD Dokter Syamsudin melalui fasilitas Jamkesmas.

Aisah pun tak lagi dipasung. “Dia sudah tidak perlu dipasung lagi, nggak pernah ngamuk. Sekarang dia kerjanya menutup diri di kamar, sesekali keluar buat nonton sinetron,” ujar Jubaedi.

Apa yang membuat jiwa Aisah terganggu? Ingatan pria paro baya itu kembali melayang ke tahun 2005 lalu. Ke titik balik hidup putrinya.

Keterbatasan ekonomi dan cita-cita menyekolahkan putranya hingga tinggi membuat perempuan Desa Jambe Nengah, Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi itu nekat merantau ke Kuwait. Di negeri kaya raya, ia justru terlunta, menanggung beban kerja berat, dan siksaan sadis majikannya.

Tak kuat, akhir 2005, Aisah akhirnya pulang ke kampung halamannya. “Dia bicara, katanya sering dipukuli majikannya saat kerja di Kuwait. Bahkan ia pernah disiksa sampai diinjak-injak saat berada di penampungan karena melarikan diri dari majikan,” kata Jubaedi.

Berharap mendapat topangan jiwa di rumah, perasaan Aisah justru hancur lebur. Suami yang ia cintai, yang selalu menerima kiriman uangnya dari rantau, menyeleweng, dan menikahi perempuan lain. Lelaki itu bahkan tega menelantarkan putra sulung mereka, Iqbal.

Aisah depresi berat. “Dia mulai melamun dan menyendiri semenjak pulang. Melihat suaminya kawin lagi, dan anaknya tidak meneruskan sekolah setelah lulus SMP karena tidak ada biaya,” ungkap Jubaedi.

Awalnya, Aisah ingin kembali merantau ke luar negeri mencari uang untuk hidup anak-anaknya. Belum sampai niatnya terlaksana, pukulan telak kembali ia terima. Beberapa petak sawah hasil memeras keringat jadi pembantu, yang rencananya akan dijadikan modal berangkat lagi ke luar negeri, sudah dijual suaminya tanpa sepengetahuannya dan keluarga.

Harapannya sontak runtuh, ia makin terpuruk. Sejak saat itulah, Aisah mulai mengamuk dan merusak apapun di dekatnya. Tak hanya keluarga, para tetangganya pun resah.

Perilaku Aisah makin lama makin mengkhawatirkan. “Sekitar pertengahan 2006 dia ngamuk dengan membawa golok. Dia naik ke atas genteng mau bunuh diri. Kami sekeluarga takut dan coba merayu. Semua warga keluar coba nangkap Aisah. Setelah kejadian itu keluarga terpaksa memasung Aisah di kamar belakang rumah. Kami takut dia ngamuk lagi,” Jubaedi mengisahkan.

Meski kondisi Aisah lebih baik dari sebelumnya, kalau boleh jujur, Jubaedi lelah mengurus putrinya yang tak kunjung normal. Di usia senjanya, ia juga masih harus banting tulang membiayai anak-anaknya, juga cucu. Penghasilannya tak seberapa. Dia bergantung dari warung kecil di samping rumah. “Saya sudah kewalahan,” kata dia, lirih.

Rumah tanpa kaca

“Saya sekarang sudah waras dan sehat,” ujar Fatimah binti Jujiri, optimistis. Pada awal Januari 2012, berdasarkan uji medis dan psikologis, ia dinyatakan sembuh dari depresi berat.

Saat ditanya, apa yang membebani hatinya saat itu, perempuan 38 tahun itu mengaku lupa. Ia juga tak berusaha mengingat apa yang terjadi.  “Saya baru sadar dan mengenali semua setelah dirawat di RSJ Bogor tahun 2008. Saya hanya ingat di sana kalau mau makan mesti rebutan dan sedikit. Terus di bolehkan pulang ke rumah,” kata janda beranak dua ini, tersenyum, menggendong putri  bungsunya berusia 9 bulan. “Sekarang saya ingin mengurus anak saya, dan memperbaiki rumah yang saya rusak.”

Fatimah tinggal bersama dua putri dan orang tuanya bekerja sebagai buruh tani. Di bangunan semi permanen, ukuran 8 x 12 meter, berkamar dua  di RT 03/06, Kebon Pedes, Sukabumi.

Rumah itu tanpa kaca. “Semua kaca rumah habis. Katanya saya lemparin sama saya pukulin. Saya juga nggak ingat.  Sekarang rumah saya paling jelek, dan satu-satunya rumah yang nggak ada kacanya di kampung ini,” dia bercerita sambil tersenyum.

Daripada merenungi nasib, Fatimah memilih menyibukkan diri. Menggembala tiga ekor kambing dan membantu kegiatan sosial di lingkungannya, sesekali ia berdagang keliling. “Semenjak keluar dari RSJ Bogor saya ngurus kambing, keluarga, dagang sama bantu sana-sini. Saya punya kegiatan yang bisa bantu keluarga,” kata dia.

Selain itu, ia juga turun mencari rumput, sambil mengasuh si bungsu. “Sekarang kambing saya ada tiga, padahal dulu cuma dua. Oh ya, saya juga punya satu lagi, tapi sudah dijual buat syukuran anak saya yang bungsu,” ujarnya, bangga.

Dari Jejen (45), saudara dekatnya, masa lalu kelam Fatimah terkuak.  “Fatimah dipulangkan dari Mekkah sekitar bulan November 2007. Dia cuma kerja delapan bulan. Mestinya dua tahun sesuai kontrak,” kata dia.

Menurut yang mengantar saat itu, Fatimah dipulangkan karena sering mengamuk di rumah majikannya. Fatimah saat itu tak lagi ceria. Ia sering ngomong sendiri, mengoceh tentang majikannya galak. “Saat kerja dimarahin terus, apa yang dikerjakan selalu salah. Dia mengaku dipukuli pakai tongkat,” kata dia.

Tingkah Fatimah pun makin tak terkendali. “Dia sering ngamuk merusak rumah, main pukul dan melempar rumah,”ujarnya. Kemudian keluarga meminta bantuan ke berbagai pihak terutama LSM. Dari situ keluarga Fatimah mendapatkan bantuan berupa rujukan perawatan dan Jamkesmas serta Jamkesda. Pada akhir 2008, Fatimah di rawat di RSJ Bogor selama tiga bulan. Di lalu dibolehkan pulang, dan berobat jalan.

Bukan hanya Sukabumi
Cerita para perempuan buruh migran yang menderita depresi berat sepulang bekerja di luar negeri ini juga diungkap Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).  Sebagian kecil korban berada di Sukabumi.

“Hingga akhir Januari 2012, kami telah mendata dan menerima laporan 96 TKI asal Sukabumi mengalami depresi,”  kata Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Sukabumi, Jejen Nurjanah, pada VIVAnews.com.

Mereka stres hingga depresi,  dan terpaksa dipasung oleh keluarganya.  Bahkan mencoba mengakhiri hidupnya.  Jejen mengatakan, meski belum ada laporan TKI bunuh diri, upaya ke sana sering ditemukan. “Bahkan kami telah melakukan pendampingan lebih dari 70 kasus sejak 2009,” dia menambahkan.

Ada banyak faktor membuat mereka putus harapan: siksaan fisik majikan, tekanan mental berupa makian, dan perlakuan tak menyenangkan, pelecehan seksual, hingga pemerkosaan. Soal lainnya: suami selingkuh, harta hasil kerja keras justru dibuat kawin lagi, atau perasaan bersalah karena menganggap telah membuat anak terlantar.

Jejen mengingatkan, data yang mereka kumpulkan baru lingkup kecil di Sukabumi. Itupun belum semuanya. Baru sebatas hasil temuan, dan pengaduan masyarakat.
“Masih banyak yang belum tersentuh karena berbagi kendala seperti jarak dan anggaran yang kami miliki. Hasil advokasi kami hanya di kisaran 70 persen realita yang ada, di Sukabumi,” kata dia.  Validitas data sangat sulit, sebab, pemerintah Sukabumi saja tidak punya angka TKI pasti yang berangkat ke luar negeri.

Ia menduga ada upaya menutupi para TKI menderita tekanan jiwa, termasuk dari pihak keluarga. “Biasanya mereka cendrung menutup diri dan mengasingkan hingga memasung di tempat tersembunyi.

Menanggapi temuan LSM, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sukabumi menuntut pertanggungjawaban BNP2TKI dan PJTKI yang memberangkatkan para TKI. “Kami sedang memproses data hasil advokasi SBMI ke BNP2TKI. Kami menuntut pertanggung jawaban BNP2TKI dan PJTKI dalam memulihan jiwa para mantan TKI yang mengalami depresi,” tegas Kepala Dinas tenaga Kerja dan Tansmigrasi  (Disnakertrans) Sukabumi,  Aam Ammar Halim pada VIVAnews.com.

Lalu apa kata Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)?

Dituding sebagai pihak yang harus bertanggungjawab, Kepala BNP2TKI, Jumhur Hidayat menjelaskan, lembaganya hanya menangani TKI bermasalah yang baru pulang ke Indonesia. Itu termasuk mereka yang punya soal kejiwaan.  “Kami kirim ke RS Polri, periksa sampai depresi hilang, baru pulang ke rumah,” kata dia.

Soal kasus mantan buruh migran yang masih mengalami masalah kejiwaan di Sukabumi, Jumhur menduga, mereka kambuh.  “Mungkin saat itu kelihatan baik, tapi pas pulang kambuh lagi bisa saja,” ujar Jumhur.

Apa mereka yang sudah pulang kemudian lalu depresi menahun masih difasilitasi berobat oleh badan itu?  “Itu bukan tugas BNP2TKI lagi. Itu sudah lepas. Kalau nggak salah dibawah Depsos, karena kasus pemasungan bukan hanya TKI. Tapi ada juga yang bukan TKI,” ujar Jumhur. ~VIVAnews

No comments: