Bagi bangsa kita, beras memiliki arti tersendiri. Bukan saja lebih
dari 95 % penduduk Indonesia telah menjadikan beras sebagai bahan
pangan pokok nya, namun jika hal ini kita kaitkan dengan mata
pencaharian warga bangsa nya sendiri, ternyata lebih dari 50 %
berkiprah di dunia perberasan. Akibat nya wajar, jika beras telah
dijadikan Pemerintah sebagai komoditi politis dan strategis. Politis
karena bila kita salam dalam mengelola nya bakal melahirkan bencana
kehidupan dan strategis karena beras juga dapat berpengaruh terhadap
inflasi. Itu sebab nya mengapa harga beras perlu diatur lewat sebuah
kebijakan khusus, yang di negeri kita dikenali sebagai Kebijakan Harga
Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras lewat sebuah Instruksi
Presiden alias Inpres tentang Sistem Perberasan..
Di
beberapa negeri agraris, termasuk di negara kita, beras juga selalu
terkait dengan aspek religiomagis atau pun kearifan lokal masing-masing
daerah. Dulu, pada saat terjadi panen raya, para petani di perdesaan
tak segan-segan memberi penghargaan kepada "Dewi Sri" melalui keriayaan
hingga tiga hari tiga malam. Malam pertama aya acara wayang golek.
Malam ke dua ada acara bangreng. Dan malam ke tiga ditutup dengan acara
pengajian. Hal ini dilakukan, tentu bukan hanya sekedar menyampaikan
rasa syukur atas berkah yang diberikan Allah SWT, namun dengan terjadi
nya keberhasilan panen yang dilakukan, maka para petani pun akan
memperoleh peningkatan kesejahteraan hidup nya. Panen raya padi pun
kemudian mengedepan menjadi saat yang dinanti-nanti oleh masyarakat
petani di perdesaan.
Lantas, bagaimana kondisi nya
sekarang ? Apakah upacara semacam itu masih berlangsung atau kah sudah
mulai hilang dari kehidupan para petani di perdesaan ? Kalau kita mau
jujur, memang sekarang ini kita akan kesulitan untuk menyaksikan acara
semodel menyambut panen raya padi. Penyebab nya, tentu dapat
macam-macam. Salah satunya adalah terkait dengan kepemilikan lahan
sawah petani sendiri. Dulu, para petani rata-rata memiliki lahan sawah
yang cukup luas, sehingga ada yang disebut dengan petani kaya. Mereka
umum nya akan merasa berterima kasih atas panenan yang dilakukan nya.
Akibat nya wajar, bila mereka pun melangsungkan keriyaan hingga tiga
hari tiga malam.
Suasana semacam itu, kini boleh jadi
hanya tinggal kenangan. Sekarang ini, para pemilik lahan sawah
rata-rata sudah bukan para petani yang tinggal dan bermukim di
perdesaan. Para pemilik sawah saat ini umum nya orang kota yang
keseharian nya tidak pernah bermasyarakat di perdesaan. Sesekali saja
mereka menengok sawah ladang nya. Dari gambaran yang demikian, jelas
terlihat bahwa "sense of belonging" terhadap sawah pun pasti akan
berbeda, sehingga pelaksanaan panen raya pun dipersepsikan ala kadar
nya dan tidak perlu lagi ada upacara atau acara keriyaan lain nya.
Semua berubah secara pelan-pelan. Budaya saling memiliki pun berubah
menjadi budaya transaksional.
Sisi religiomagis, yang
seolah-olah memposisikan beras sebagai bahan pangan utama dan mesti
"dihormati" keberadaan nya, kini sudah tidak mungkin lagi bakal kita
temukan di perdesaan. Hal ini sebetul nya tidak jauh berbeda dengan
fenomena "lumbung" yang dalam konteks kekinian sudah jarang kita
temukan di masyarakat. Nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat agraris, lambat laun tergerus oleh budaya baru yang serba
instan. Kearifan lokal sedikit demi sedikit memudar seiring dengan
perkembangan teknologi. Budaya lumbung pun menjadi kurang populer,
salah satu penyebab nya adalah karena para petani sudah terpola dengan
sistem "cash and carry".
Selain kita dihadapkan pada
fenomena memudar nya nilai-nilai budaya yang sudah berabad-abad menjadi
ciri masyarakat petani di perdesaan, ternyata dari aspek produksi beras
pun kini kita sedang menghadapi masalah yang cukup serius. Ada nya
fakta tahun lalu kita mesti mengimpor beras lebih dari angka 2 juta
ton, sebetul nya merupakan "warning" yang perlu kita cermati dengan
sungguh-sungguh. Kita memang tidak boleh main-main dalam menangani
kisruh perberasan yang dihadapi. Kita tidak boleh lagi mengelola sistem
perberasan dengan setengah hati. Sebab, bila kita gegabah atau terkesan
ala kadar nya, dikhawatirkan akan terjadi "kutukan beras". Jika hal itu
terjadi, tak terbayangkan betapa banyak nya hal yang harus kita benahi
lebih lanjut. ~SUARA RAKYAT
No comments:
Post a Comment