Saturday, February 11, 2012

Kutukan Beras...???

Bagi bangsa kita, beras memiliki arti tersendiri. Bukan saja lebih dari 95 % penduduk Indonesia telah menjadikan beras sebagai bahan pangan pokok nya, namun jika hal ini kita kaitkan dengan mata pencaharian warga bangsa nya sendiri, ternyata lebih dari 50 % berkiprah di dunia perberasan. Akibat nya wajar, jika beras telah dijadikan Pemerintah sebagai komoditi politis dan strategis. Politis karena bila kita salam dalam mengelola nya bakal melahirkan bencana kehidupan dan strategis karena beras juga dapat berpengaruh terhadap inflasi. Itu sebab nya mengapa harga beras perlu diatur lewat sebuah kebijakan khusus, yang di negeri kita dikenali sebagai Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras lewat sebuah Instruksi Presiden alias Inpres tentang Sistem Perberasan..


   Di beberapa negeri agraris, termasuk di negara kita, beras juga selalu terkait dengan aspek religiomagis atau pun kearifan lokal masing-masing daerah. Dulu, pada saat terjadi panen raya, para petani di perdesaan tak segan-segan memberi penghargaan kepada "Dewi Sri" melalui keriayaan hingga tiga hari tiga malam. Malam pertama aya acara wayang golek. Malam ke dua ada acara bangreng. Dan malam ke tiga ditutup dengan acara pengajian. Hal ini dilakukan, tentu bukan hanya sekedar menyampaikan rasa syukur atas berkah yang diberikan Allah SWT, namun dengan terjadi nya keberhasilan panen yang dilakukan, maka para petani pun akan memperoleh peningkatan kesejahteraan hidup nya. Panen raya padi pun kemudian mengedepan menjadi saat yang dinanti-nanti oleh masyarakat petani di perdesaan.

  Lantas, bagaimana kondisi nya sekarang ? Apakah upacara semacam itu masih berlangsung atau kah sudah mulai hilang dari kehidupan para petani di perdesaan ? Kalau kita mau jujur, memang sekarang ini kita akan kesulitan untuk menyaksikan acara semodel menyambut panen raya padi. Penyebab nya, tentu dapat macam-macam. Salah satunya adalah terkait dengan kepemilikan lahan sawah petani sendiri. Dulu, para petani rata-rata memiliki lahan sawah yang cukup luas, sehingga ada yang disebut dengan petani kaya. Mereka umum nya akan merasa berterima kasih atas panenan yang dilakukan nya. Akibat nya wajar, bila mereka pun melangsungkan keriyaan hingga tiga hari tiga malam.

   Suasana semacam itu, kini boleh jadi hanya tinggal kenangan. Sekarang ini, para pemilik lahan sawah rata-rata sudah bukan para petani yang tinggal dan bermukim di perdesaan. Para pemilik sawah saat ini umum nya orang kota yang keseharian nya tidak pernah bermasyarakat di perdesaan. Sesekali saja mereka menengok sawah ladang nya. Dari gambaran yang demikian, jelas terlihat bahwa "sense of belonging" terhadap sawah pun pasti akan berbeda, sehingga pelaksanaan panen raya pun dipersepsikan ala kadar nya dan tidak perlu lagi ada upacara atau acara keriyaan lain nya. Semua berubah secara pelan-pelan. Budaya saling memiliki pun berubah menjadi budaya transaksional.

    Sisi religiomagis, yang seolah-olah memposisikan beras sebagai bahan pangan utama dan mesti "dihormati" keberadaan nya, kini sudah tidak mungkin lagi bakal kita temukan di perdesaan. Hal ini sebetul nya tidak jauh berbeda dengan fenomena "lumbung" yang dalam konteks kekinian sudah jarang kita temukan di masyarakat. Nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat agraris, lambat laun tergerus oleh budaya baru yang serba instan. Kearifan lokal sedikit demi sedikit memudar seiring dengan perkembangan teknologi. Budaya lumbung pun menjadi kurang populer, salah satu penyebab nya adalah karena para petani sudah terpola dengan sistem "cash and carry".

   Selain kita dihadapkan pada fenomena memudar nya nilai-nilai budaya yang sudah berabad-abad menjadi ciri masyarakat petani di perdesaan, ternyata dari aspek produksi beras pun kini kita sedang menghadapi masalah yang cukup serius. Ada nya fakta tahun lalu kita mesti mengimpor beras lebih dari angka 2 juta ton, sebetul nya merupakan "warning" yang perlu kita cermati dengan sungguh-sungguh. Kita memang tidak boleh main-main dalam menangani kisruh perberasan yang dihadapi. Kita tidak boleh lagi mengelola sistem perberasan dengan setengah hati. Sebab, bila kita gegabah atau terkesan ala kadar nya, dikhawatirkan akan terjadi "kutukan beras". Jika hal itu terjadi, tak terbayangkan betapa banyak nya hal yang harus kita benahi lebih lanjut. ~SUARA RAKYAT

No comments: