Jakarta (SJ) - Hingga era SBY-Boed ini, para elite
kekuasaan mengalami krisis etika dan moral sehingga korupsi merajalela,
jurang kaya-miskin makin tajam dan terjadi krisis kepercayaan rakyat
kepada penguasa.
Prof Dr Alois A. Nugroho dari Unika Atma Jaya, Jakarta dan Prof Dr
Kautsar Azhari Nur dari UIN Jakarta menyampaikan hal itu dalam dialog
Nurcholish Madjid Society (NCMS) di Gedung Bestari Jakarta, Kamis
malam. Dialog dihadiri Ibu Omi Nurcholish Madjid, Teddy Rusdi, Yudi
Latif, Herdi Sahrasad, Henry Simarmata, Edwin Arifin dan kalangan
mahasiswa dan masyarakat. dengan moderator Muhamad Wahyuni Nafis.
Alois Nugroho mengingatkan, Indonesia yang disebut-sebut sebagai
salah satu bintang negara emerging markets ternyata merupakan negara
terkorup dari 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik. Demikian
hasil survei bisnis yang dirilis Political & Economic Risk
Consultancy atau PERC. Dalam survei tahun 2010, Indonesia menempati
peringkat pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07
dari nilai 10. Posisi kedua ditempati Kamboja, kemudian Vietnam,
Filipina, Thailand, India, China, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan,
Makao, Jepang, Amerika Serikat, Hongkong, Australia, dan Singapura
sebagai negara yang paling bersih. Dalam peringkat angka mulai dari 0
(negara terbersih) hingga 10 (negara terkorup), “perolehan” Indonesia
meningkat dari 7,98 pada 2008 dan 8, 32 pada 2009 menjadi 9,07 pada
2010.
Menurutnya, kesahihan temuan PERC memang dapat diperdebatkan. Namun
kasus “Cicak vs Buaya” akhir tahun 2009 yang mengalami ramifikasi dan
overlapping menjadi “Kasus Makelar Kasus”, “Kasus Bank Century”, “Kasus
Mafia Peradilan”, “Kasus Rekening Gendut para Petinggi Polisi”, “Kasus
Gayus”, “Kasus Makelar Pajak”, “Kasus foto turnamen tennis”, bersama
dengan “kasus Deputi Gubernur BI” dan kasus-kasus lain yang menimpa
parlemen, birokrasi, aparat hukum dan para politisi, hanya mengukuhkan
hasil temuan PERC. ‘’Badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatif
kita telah ternoda aklibat krisis etika-moral,’’ kata Alois dan Kautsar.
Alois Nugroho mengingatkan bahwa dalam acara tasyakuran peringatan
Hari Amal Bhakti ke-63 Departemen Agama tahun 2009 di Pekan Raya
Jakarta, 17 Januari 2009, Menteri Agama Republik Indonesia menyimpulkan
adanya keyakinan publik bahwa di Indonesia telah terjadi krisis moral
dan etika keagamaan. Menurut Menag, meski belum pernah dilakukan
penelitian tentang kebenaran klaim tersebut, tetapi secara "common
sense", opini itu telah terlanjur diyakini masyarakat sebagai suatu
kebenaran
Alois dan Kautsar melihat, bagi observasi rakyat biasa yang
berpartisipasi dalam kehidupan biasa, sebenarnya tidak sukar
mengumpulkan berita-berita yang dapat mendukung “common sense” itu.
‘’Bagi sementara kalangan, video mesum mirip Ariel dengan Luna Maya
atau dengan Cut Tari menjadi salah satu bukti bahwa telah terjadi
krisis moral bangsa, karena kasus itu menunjukkan bahwa sebagian
masyarakat menganggap perzinahan dan perselingkuhan sebagai tindakan
lumrah,’’ujar Alois.
Alois dan Kautsar menyatakan, efek video itu pun lebih lanjut akan
mempengaruhi moralitas pihak-pihak yang masih mempertahankan etika
agama serta anak-anak yang belum mengenal budaya perselingkuhan. Kasus
video “Bandung Lautan Asmara” tahun 2001 terulang sembilan tahun
kemudian dan terasa lebih heboh karena melibatkan para selebritas yang
sedang bersinar. Ditambah dengan berita kawin cerai dan perilaku
seksual para selebritas, termasuk para “selebritas politik”,
“selebritas intelektual” dan “selebritas agama”, publik menangkap bahwa
kasus video porno hanyalah puncak dari gunung es yang besar.
Meski dampak sosialnya tidak kecil, namun krisis moral di atas
sering dikategorikan sebagai krisis dalam kaitannya dengan “kesalehan
pribadi”. Lebih lanjut, banyak pula pihak yang lebih prihatin pada
krisis moral dalam kaitannya dengan “kesalehan publik”, semisal yang
mencuat dalam bentuk korupsi, kesenjangan kaya miskin dan memudarnya
toleransi.
Dalam hal kesenjangan kaya miskin, angka kemiskinan pada 2010
menurut perhitungan Badan Pusat Statistik yang lazimnya lebih
optimistis pun, tidak banyak beranjak jauh dari angka kemiskinan pada
2009. Angka Kemiskinan di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02
juta (13,33 persen), turun 1,51 juta dibandingkan dengan penduduk
miskin pada Maret 2009 yang sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Mereka
yang tergolong miskin menurut BPS ialah mereka yang pengeluaran per
kapita kurang dari Rp. 211.726,-- per bulan atau Rp.7.000,-- per hari.
Sementara itu, kelompok dengan pengeluaran 10-20 USD (Rp. 90.000,-- -
Rp. 180.000,-- ) per kapita per hari naik dari 0,4 juta orang pada 2009
menjadi 2,23 juta orang pada 2009. ‘’Angka kemiskinan itu menunjukkan
lemahnya spirit dan kinerja pemerintah memberantas kemiskinan,
sementara korupsi meluas,’’ kata Alois.
Sementara itu, kalangan lain menunjukkan memudarnya moralitas
“bhineka tunggal ika” sebagai salah satu bukti adanya krisis moral itu.
Pada Oktober 2010, Lingkaran Survei Indonesia mengumumkan hasil
temuannya bahwa tingkat toleransi atas keberagaman berdasarkan paham
Bhinneka Tunggal Ika menurun drastis. Sebaliknya, pembenaran kekerasan
dengan mengatas-namakan agama meningkat secara signifikan. Untuk
melihat sejauh mana toleransi tersebut, LSI mengajukan pertanyaan kunci
tentang kekerasan yang dialami Ahmadiyah. Dari hasil survei per
September 2010, sebanyak 30,2 persen responden menyetujui kekerasan
terhadap Ahmadiyah. Hasil ini jauh meningkat dibandingkan hasil survei
tahun 2005 yang hanya 13,9 persen. ‘’Ini isyarat kuat bahwa kebhinekaan
kita kian tergerus dan terancam,’’kata Alois.(ach/rimanews)
No comments:
Post a Comment