Friday, October 14, 2011

Bencana adalah bagian dari seleksi alam

Gempa bumi dengan kategori kekuatan besar dan menghancurkan tetap bekerja sebagai seleksi alam, serta gerakan harmonisasi alam semesta. Di mana alam semesta beserta penghuninya mengalami  perubahan-perubahan dan gerak tarik-ulur, dan saling tarik menarik. Antara gerakan negatif-destruktif dengan gerakan positif konstruktif. Untuk kasus gempa bumi, sisi misteriusnya adalah, gempa bumi merupakan gejolak amuk alam tetapi bukan berarti terjadi disorder dan disharmoni alam semesta. Sebaliknya biasanya tetap berlaku rumus keadilan. Alam bergolak TIDAK DENGAN CARA PENGECUT. Gejolak alam TIDAK akan berlangsung secara diam-diam atau mencuri-curi kesempatan bak seorang pecundang. Sebaliknya, alam semesta menjalankan “permainan”  secara fairplay, sebelumnya selalu bersuara lantang menyampaikan pesan-pesan kepada seluruh penghuninya, meliputi hutan, gunung, sungai, dimensi gaib dengan makhluk halus penghuninya, serta binatang dan manusia. Seluruh isi dan makhluk penghuni bumi ini, pada kenyataannya MANUSIALAH YANG PALING NDABLEK, MATA & TELINGANYA sengaja dibuat TULI hanya karena alasan berlebihan takut tergoda bujukan setan yang gemar menyesatkan iman. Padahal setan itu melekat sejak akil baliq (usia dewasa) pasti bersemayam di dalam tubuh setiap insan,  sebab setan itu tiada lain kiasan untuk nafsu negatif manusia, “setan” sebagai gambaran nilai-nilai negatif yang paradoksal kebalikan dari nilai-nilai “ketuhanan” yang serba positif. Ketakutan berlebihan itu, pada kenyataannya hanya menghasilkan kesadaran jahiliah, kesadaran yang terkungkung oleh unsur jasadiah meliputi rasio dan emosi nafsu negatif, namun sudah merasa diri orang paling benar di dunia.

Ilmu-ilmu dan alat-alat untuk membaca pesan-pesan alam telah lama ditinggalkan manusia. Ngelmu titen, ngelmu kawaskitan, dll yang dijadikan sarana membaca warning dalam bahasa alam dianggap sumber musrik dan tahyul oleh manusia-manusia picik dan dangkal kesadarannya hanya karena tidak memakai bahasa tanah suci. Padahal ilmu-ilmu tersebut sangat ilmiah bila dijelaskan secara komprehensif dan esensial. Ilmu yang mampu untuk mencermati apa yang menjadi kehendak Tuhan. Bila kita mampu membaca pesan-pesan dalam bahasa  alam, maka kita akan weruh sadurunge winarah/tahu sebelum terjadi. Menjadikan kita lebih hati-hati dan waspada, mengerti dengan betul-betul apa yang harus dilakukan dengan arif dan bijaksana. Lantas apa manfaatnya jika kita menafikkan ilmu-ilmu untuk membaca bahasa Tuhan ? Bukanlah menjadi tidak sesat dan iman tergoda, namun hasilnya tidak lain adalah  kegagalan untuk bisa “nggayuh kawicaksananing Gusti/membaca kebijaksanaan tuhan”. Jadi orang yang kagetan dan gumunan, dan tidak tahu akan dirinya yang sejati.

Manusia-manusia yang berwatak gumunan/terheran dan kagetan mudah bersikap gegabah bilamana bencana dahsyat (mega disaster) benar-benar melanda seantero negeri ini. Menjadi orang yang tak pernah menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Kini zaman serba terbalik (wolak-waliking zaman), di mana orang suci dianggap kotor, orang kotor dianggap suci. Bandit menjelma bagaikan syeh, sebaliknya “syeh” yang sebenarnya justru diruduh sebagai seorang bandit yang kafir. Ulama spiritual sejati diangap sebagai orang sesat, sementara itu orang yang benar-benar keblinger dianggap orang pinter (alim). Tampilan kulit luar nan mempesona, yang indah manakjubkan  dianggapnya sebagai isi dan tujuan yang dicari selama ini. Sedangkan isi yang sesungguhnya berujud belatung, namun dibayang-bayangkan sebagai “madu murni asli sumbawa”. Wolak-waliking zaman !! Banyak orang merasa diri bersih, suci, bener, pener, pas, soleh-solikah, padahal dirinyalah yang termasuk orang-orang keblinger itu. Dikiaskan dalam jongko sebagai setan yang berlagak manusia soleh: Ono setan riwa-riwa minda manungsa anggawa agama. Akeh kang padha katambuhan. Ada “setan berbulu” yang berlagak menjadi manusia yang ahli agama (alim ulama). Banyak orang yang tertipu tetapi tidak merasa tertipu. Itulah tanda-tanda zaman di saat  ini. Alam pun menyambutnya dengan gebrakan dahsyat, gempa bumi, banjir besar, tsunami, distorsi cuaca yang sangat gawat, wabah penyakit aneh  (pagebluk). Di mana-mana banyak perang karena emosi angkara manusia berebut CARI BENERNYA SENDIRI, cari butuhnya sendiri, cari menangnya sendiri. Dalam bertuturpun tanpa ampun, hati tega nian gemar menghakimi orang lain secara sadis dan hina, dengan hanya berdasarkan keyakinan asal-asalan, bukan menghakimi dengan data otentik dan kesaksian pasti nan sejati. Seolah dirinya tahu segalanya akan hakekat kehidupan sejati, seolah-olah pernah mati dan pernah menjelajah di alam kehidupan sejati. Padahal dasar pengetahuan dan keyakinannya sangat lemah, hanya katanya/omonge, ujare, ceunah ceuk ceunah, kabar kabur, kabur-kanginan. Sebaik apapun keyakinan tetap saja sekedar KONSEP BERFIKIR dan konsep beryakin (menata hati untuk percaya saja). Tak peduli walau dirinya tak pernah mengalami dan menyaksikan sendiri akan nilai-nilai ketuhanan. Just never say that :  “keyakinan itu hanya perlu diyakini saja, karena manusia MUSTAHIL bisa tahu apa yang terjadi di alam kehidupan sejati, jika belum pernah mati.    Kalimat itu, hanya berlaku bagi :

  1. Siapapun yang enggan mengolah rahsa sejati. Yang hanya mengandalkan kesadaran jasadiah, meliputi kesadaran rasio yang teramat terbatas kemampan nalarnya.

  2. Siapapun yang kesadaranya didominasi oleh kekuatan emosi / nafsu-nafsu negatif.

  3. Berlaku bagi siapapun yang tidak mengenal konsep “setan” dengan sungguh-sungguh.

  4. Bagi siapapun yang terjebak oleh belenggu ketakutan  berlebihan akan sesat dan godaan iman.

  5. Siapapun yang kesadarannya terbelenggu oleh dogma-dogma yang penuh intimidasi dosa-nerakawi dan iming-iming pahala-surgawi. (be spiritual, not be religious).

Sementara itu, sebuah tradisi lama leluhur bangsa ini telah membutikan bahwa tanpa harus mati terlebih dulu, sebenarnya manusia diberikan kesempatan “melongok” apa yang sesungguhnya terjadi di dalam panggung “alam kelanggengan” di mana terdapat kehidupan sejati, yang langgeng tan owah gingsir. belajarlah mati selagi masih hidup, biar tidak menjadi manusia radikal dan kagetan.

No comments: