Ribuan bayi di dunia lahir tanpa hitungan kromosom yang jelas,
mereka mungkin memiliki alat kelamin laki-laki, atau perempuan--atau
bahkan campuran keduanya. Yang terakhir disebut interseksual.
Anak-anak
dengan kategori ini tak memiliki kromosom seks spesifik, hormon yang
fungsinya berbeda dari kebanyakan orang, bahkan memiliki alat kelamin
yang tak dapat dipastikan.
Salah satunya dialami Diana
Hartmann. Saat pada 1965, dokter tak bisa menjawab pertanyaan: bayi itu
lelaki atau perempuan? Mereka hanya mengatakan, "jabang bayi lahir
sehat, tapi jenis kelaminnya "tidak jelas". Dokter lalu memutuskan, ia
adalah lelaki, dan ingin mengoperasinya. Namun ibunya menolak. Ia
melihat gambaran gadis kecil dalam bayinya. Itulah mengapa ia dinamai
Diana.
Akibatnya, Diana hidup dengan identitas interseksual hingga dewasa. "Tidak ada yang menyebut saya normal," kata Hartman.
Kasus Hartmann tak unik. Sebab, seperti dimuat Die Welt,
setiap tahun diperkirakan antara 80 sampai 120 bayi "interseksual"
lahir di Jerman. Ini menjadi masalah dalam masyarakat yang membedakan
secara tegas antara dua jenis kelamin. Tak hanya orang tua dan dokter
yang bingung, tapi juga pejabat berwenang.
Untuk diketahui, di
bawah hukum Jerman, jenis kelamin anak harus didaftarkan dalam waktu
satu minggu setelah lahir. Terdapat pengecualian pada beberapa kasus,
namun hanya sebelum anak itu mencapai masa puber.
Sejak Desember
2010, Dewan Etik Nasional Jerman yang mendapat amanat dari pemerintah
federal: memastikan anak-anak dengan kondisi istimewa bisa hidup
bermartabat dalam masyarakat. Dewan pun berkonsultasi dengan para ahli
medis, hukum, dan ilmu sosial. Juga mendengar masukan dari kaum
interseksual. Laporan akan dipublikasikan dalam beberapa minggu.
Ada
dua isu utama yang jadi perdebatan. Pertama, apakah "jenis kelamin
ketiga" perlu diperkenalkan. Kedua, apakah seorang interseksual
diharuskan operasi-- menjadi pria atau wanita. Jika ya, dalam usia
berapa dan dalam kondisi apa.
Di masa lalu anak-anak
interseksual akan dioperasi di tahun pertama kehidupannya, dengan
asumsi, penetapan jenis kelamin sejak dini akan mencegah trauma di masa
depan. Praktek itu kerap dilakukan sampai saat ini.
Sejarawan
medis, Ulrike Kloppel dari Humboldt University, Berlin mengusulkan,
kolom jenis kelamin dihapus atau setidaknya pengisiannya bisa ditunda
lebih lama untuk mengakomodasi keinginan anak-anak interseksual. Untuk
menentukan sendiri jenis kelamin mereka.
Sementara Diana
Hartmann justru mengaku ragu dengan definisi "jenis kelamin ketiga". Ia
khawatir, nantinya justru berujung dengan isolasi yang semakin parah
terhadap kaumnya. Sebab, tak ada definisi yang jelas tentang perbedaan
dengan dua jenis kelamin lainnya.
Nepal sahkan "jenis kelamin ketiga"
Saat Jerman masih berdebat, di Nepal, jenis kelamin ketiga telah diakui. Seperti dimuat Huffington Post,
27 Februari 2012, pengakuan diawali perjalanan panjang Badri Pun:
inspirasi dari hasil kunjungannya ke Yogyakarta pada 2006 membuatnya
memutuskan bertindak. Ia tidur di halaman berbatu di pedesaan Nepal
selama seminggu. Bergelung dengan selimut wol, menggenggam
kertas-kertas legalitasnya sebagai warga negara -- akte kelahiran, SIM,
dan kartu tanda penduduk.
Setiap hari ia ke luar masuk gedung
pemerintahan, bersikeras dengan argumen: ada yang salah dengan kolom
identitasnya. Setelah 12 hari, ia dinyatakan menang. Badri Pun
mendapatkan kartu identitas baru. Dalam kolom jenis kelamin tertulis:
"jenis kelamin ketiga"
Keputusan Pengadilan Nepal sangat
mengejutkan. Lalu, pada 21 Desember 2007, Pemerintah Nepal
memerintahkan penghapusan hukum yang diskriminatif, dan menetapkan
status "jenis kelamin ketiga".
Jenis kelamin ketiga di Nepal
adalah kategori dari seseorang yang tak mendefinisikan dirinya sebagai
perempuan atau laki-laki. Termasuk, bagi mereka yang saat lahir tidak
jelas jenis kelaminnya.
Nepal memang bukan yang pertama mengakui jenis kelamin ketiga. India juga punya kategori itu, namun tak sekomperehensif Nepal.
Pada 2005 di India, jenis kelamin ketiga boleh ditulis di paspor sebagai "kasim" (eunuch)
atau simbol "E". Pada 2009 'E" mulai dikenalkan dalam dokumen pemilihan
umum. Setelah Nepal mengakui jenis kelamin ketiga, India mulai
menambahkan kategori itu dalam sensus kependudukan.
Sementara, Australia dan Selandia Baru, memiliki "X" sebagai pilihan, selain "M" (man) atau "F" (female) pada aplikasi paspor.
Bangladesh
juga memungkinkan warga negara berjenis kelamin ketiga berpartisipasi
dalam pemilihan umum, dengan kategorisasi "kasim." Demikian juga
Pakistan. Mahkamah Agung juga meminta pemerintah mengeluarkan opsi
jenis kelamin ketiga dalam KTP. Namun, sudah tiga tahun, tidak satu pun
KTP semacam itu diterbitkan. ~VIVAnews.
No comments:
Post a Comment