Sunday, August 21, 2011

tersenyum dengan mata

Menyaksikan kekisruhan  di mana-mana, seorang sahabat bertanya: sampai kapan manusia akan terus menyakiti diri mereka sendiri dengan saling menyerang dan menjatuhkan? Di negeri Barack 0bama yang dulunya menjadi tauladan demokrasi dan hak-hak azasi manusia, sekarang teramat kisruh. Pasca serangan teroris 11 september 2001, tidak saja pelecehan atas nama agama merebak, tidak terhitung uang bangsa Amerika yang berubah menjadi peluru mematikan di Irak dan Afghanistan.
Bangsa Indonesia telah melewati ratusan tahun masa penjajahan yang amat menyedihkan, puluhan tahun masa pembangunan, belasan tahun masa reformasi. Namun belum ada tanda-tanda bangsa ini sudah semakin sejuk, lembut dan santun.
Di tengah lautan keriuhan seperti ini, ke mana keheningan dan kejernihan   sedang   bersembunyi?  Sebagai  awal  renungan, perhatikan samudera nan luas dan dalam. Semua samudera bergelombang.    Membuang     gelombang     sama     dengan membuang samudera. Kehidupan juga serupa. Di tengah bentangan sejarah yang panjang, semua kehidupan berisi gelombang. Tidak pernah terjadi, ada sejarah yang lurus dan mulus saja.
Perhatikan sejarah dunia puluhan tahun terakhir. Bumi ini pernah ketakutan dengan perang dunia pertama. Namun ketakutan ini tidak menghentikan perang berikutnya. Dan perang ini pun kemudian memicu perang dingin antara dua negara adi kuasa. Setelah runtuhnya Uni Soviet, diikuti berjayanya Amerika Serikat, dikira ketakutan akan berakhir. Hentakan bom teroris  memulaui sebuah ketegangan baru. Bukan negara lawan negara, melainkan umat manusia terancam teroris.

Dirangkum menjadi satu, kehidupan memang menyerupai samudera. Di sepanjang waktu (masa lalu, masa kini dan masa nanti), kehidupan senantiasa bergelombang. Penderitaan terjadi ketika manusia serakah mau samudera tetapi menolak gelombang. Menendang gelombang (baca: kehidupan naik turun) sama dengan menendang samudera (kehidupan). Dan sebagaimana terlihat jelas di samudera mana pun, semua gelombang merunduk rendah hati ketika mencium bibir pantai.
Persoalan, pergolakan, pertempuran  sama dengan gelombang. Di sebuah waktu, selalu ada ujungnya. Namun sebagaimana gelombang, ketika ia lenyap di pantai bukannya berakhir selamanya. Ada waktunya ia akan kembali menghempas. Begitulah kehidupan terus berputar dengan hukumnya. Melawan hukum terakhir berujung pada penderitaan, memeluknya dengan keikhlasan itulah kedamaian sekaligus kejernihan.
Bagi   siapa   saja   yang   sudah   berpelukan   mesra  dengan kehidupan dan menemukaan kedamaian, ia tidak saja bisa tersenyum dengan bibirnya, ia juga bisa tersenyum dengan matanya (baca: memandang kehidupan dengan pengertian mendalam). Mendengar anak-anak muda yang riuh dengan suara motornya di jalan, ia akan berbisik: “bila dulu orang tua memberikan ruang bagimu untuk bertumbuh, kini giliran dirimu memberikan ruang buat orang lain untuk bertumbuh”.
Melihat bawahan yang gopar (gobloknya parah) di kantor, kontan saja ada yang bergumam dari dalam: “semua ada tempatnya semua ada putaran waktunya. Persis seperti cemara di bukit, kelapa di pantai, orang bodoh hadir tidak untuk memproduksi kejengkelan, namun membuat seorang atasan menjadi semakin welas asih dari hari ke hari”.
Terjebak kemacetan kota Jakarta, lagi-lagi guru di dalam bergumam: “kehidupan berputar dengan hukum keseimbangan (siang-malam, tenang-riuh dst). Siapa saja yang mengambil banyak kesenangan (terutama di kota besar) harus membayarnya dengan banyak kesedihan”. Ujung-ujungnya satu, jauh sebelum emosi terbakar dengan kemarahan dan kejengkelan, mata sudah memasang palang di awal dengan senyuman menawan. Ini yang kerap disebut oleh sejumlah guru meditasi sebagai right view (memandang dengan senyuman). ~GEDE PRAMA

No comments: