Apa beda nya Jaksa "nakal" dengan Hakim "nakal" ? Pertanyaan ini
cukup menarik untuk dicermati, karena baik Jaksa "nakal" mau pun Hakim
"nakal", ke dua nya adalah profesi, yang di mata masyarakat memiliki
kesan dan kenangan tersendiri. Oleh karena itu, ketika terdengar kabar
tentang ada nya seorang jaksa yang "ketangkap basah" menerima uang yang
disimpan dalam amplop cokelat oleh KPK, maka tidaklah terlampau
berlebihan bila kejadian ini betul-betul merupakan sebuah tamparan yang
menyakitkan bagi Aparat Kejaksanaan.
Citra aparat
penegak hukum, lagi-lagi tercoreng, karena ulah dan perilaku sang oknum
yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsu pribadi nya. Setelah beberapa
tahun lalu kita dikejutkan oleh kelakuan Jaksa Urip yang terlibat dalam
kasus Artalyta, kemudian muncul nya kasus Jaksa Dwi Seno yang dituding
terlibat kasus siap, kini muncul pula kasus suap di Kejari Cibinong,
Bogoe, yang melibatkan Jaksa Sistoyo yang menurut berita sedang
disiapkan untuk menjadi seorang "calon Kejari". Padahal sebagaimana
yang kita ketahui, sejak perang melawan korupsi digaungkan Pemerintahan
Sby-Boediono, sudah lebih dari 100 orang Jaksa yang ditindak dan
sekitar 29 orang Jaksa sudah di pecat dengan tidak hormat.
Pada sisi lain, kita sangat maklum bahwa Jaksa juga adalah seorang
manusia. Jaksa bukan malaikat. Sebagai manusia biasa, tentu Jaksa akan
terikat dengan kodrati nya yang tak luput dari kelemahan dan kekurangan
nya. Hanya, dibandingkan dengan Jaksa yang berperilaku buruk, kita
tetap percaya bahwa di negeri ini masih lebih banyak Jaksa-Jaksa yang
tetap memegang kehormatan dan tanggungjawab nya dengan amanah. Muncul
nya istilah Jaksa "nakal", boleh jadi hal ini sebagai perumpamaan atas
gambaran tentang bagaimana sesungguh nya sosok Jaksa di negara kita.
Selain ada Jaksa "nakal", pasti ada Jaksa yang baik dan taat pada
Sumpah Sakti nya.
Jati diri seorang Jaksa, tentu bakal
berbeda dengan jati diri seorang Pengacara, atau pun jati diri seorang
Hakim. Tugas dan tanggungjawab Jaksa adalah melakukan pemeriksaan,
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap seseorang yang
tersangkut dengan urusan hukum. Dalam sebuah proses Pengadilan, hanya
Jaksa yang memiliki kewenangan untuk menetapkan berapa lama tuntutan
harus dijatuhkan. Jaksa inilah yang berhak untuk menuntut seseorang
dengan tuntutan 20 tahun atau cukup hanya dengan tuntutan 1 tahun saja.
Pengacara sendiri, memiliki kewajiban untuk melakukan pembelaan
terhadap orang yang dituntut oleh Jaksa, karena dinilai telah melakukan
tindak kejahatan dan diduga melanggar hukum, khusus nya yang terkait
dengan urusan pidana korupsi atau pidana lain nya. Pengacara inilah
yang diharapkan bakal mendampingi dan memberi advis terhadap tersangka
selama proses persidangan berlangsung. Sebagai sebuah profesi yang
memiliki kode etik tertentu, tentu nya setiap orang yang telah mendapat
serifikat Pengacara, mesti nya mampu memelihara dan menjaga janji setia
seorang advokat sebagaimana yang tersurat dalam kode etik tersebut.
Sedangkan seorang Hakim sendiri, dalam proses pengadilan di negeri
ini, telah diberi tugas dan tanggungjawab untuk "mengetuk palu" sebagai
putusan Pengadilan. Seorang Hakim dalam menetapkan putusan, biasa nya
akan mempertimbangkan fakta-fakta hukum di persidangan, sekaligus juga
dengan mengindahkan nilai-nilai keadilan. Hakim, Jaksa dan Pengacara,
betul-betul telah dimintakan untuk tampil menjadi "pendekar hukum" yang
bakal menentukan sampai sejauh mana hukum dan keadilan itu dapat
ditegakan di atas tanah merdeka ini.
Pertanyaan nya
adalah andai kita mendengar soal Jaksa "nakal", apakah di sekitar kita
bakal ditemukan juga ada nya Hakim "nakal" dan Pengacara "nakal" ?
Jawaban nya tegas : ada !
"Kenakalan" Hakim, Jaksa dan Pengacara
yang sering mengedepan dalam kehidupan sehari-hari, disebut dengan
istilah "mafia peradilan". Inti nya, dengan ada nya mafia semacam ini,
"vonis" Pengadilan dapat diputuskan "secara adat" di luar panggung
Pengadilan. Sedangkan proses Pengadilan nya sendiri tak ubah nya
seperti Panggung Sandiwara saja.
Jika di masa lalu
suasana ini sempat tumbuh dan berkembang dalam dunia peradilan kita,
namun sejak Pemerintahan Sby-Kalla dan dilanjutkan Sby-Boediono, mesti
nya kita tidak mengalami lagi ada nya mafia peradilan. Sebab, Presiden
Sby sendiri telah memberi teladan yang baik soal pemberantasan korupsi
ini, yakni dengan "membiarkan" sang besan nya sendiri untuk menjadi
penghuni Hotel Pordeo. Arti nya, Pemerintah memang tidak main-main
dengan pemberantasan korupsi. Bahkan dalam salah satu Pidato nya,
Presiden Sby berjanji bahwa diri nya bakal berdiri tegak dan berada di
garda depan untuk memerangi korupsi ini.
Mudah-mudahan ke depan kita tidak akan mendengar atau membaca berita di media tentang tertangkap nya Jaksa "nakal" ini. ~SUARA RAKYAT
No comments:
Post a Comment