Hubungan manusia selalu penuh dinamika dan tak pernah habis menjadi
subjek pembahasan. Berbagai literatur bermunculan yang memuat
perspektif di luar budaya ideal: monogami.
Banyak yang menganggap hubungan selain monogami adalah perselingkuhan. Benarkah demikian?
Menurut Meg Barker, penulis "Understanding Non Monogamies", hubungan
non-monogami sudah lazim terjadi. Pelakunya pun terus meningkat. Meski
demikian, statistiknya sulit didapat. Barker mengatakan, “Tidak ada
survei nasional yang membahas hal-hal semacam ini, dan banyak orang
tidak terlalu terbuka soal open relationship mereka.”
Rekha, 32, wanita asal London ini mungkin satu pengecualian para pelaku
non-monogami yang masih ‘tertutup’. Selama delapan tahun ia menjalin
hubungan dengan seorang mahasiswa doktoral. Mereka terikat secara
emosional, tapi tidak secara seksual.
“Kami sudah bilang kepada keluarga maupun teman kami bahwa kami berniat
menghabiskan sisa hidup kami bersama. Pada saat yang sama, kami
memiliki hubungan intim dengan orang lain,” ujar Rekha, yang kini
bekerja di perusahaan penerbitkan.
Di Inggris, kalangan minoritas pelaku non-monogami ini sebagian besar
adalah duda atau janda setengah baya. Mereka sebelumnya telah terikat
dalam hubungan monogami cukup lama, ingin mencoba sesuatu yang lain.
Max Doray, 48, adalah salah satunya. Wanita ini memutuskan untuk
tinggal bersama pria lain setelah pernikahannya selama 20 tahun dan
dikaruniai dua anak tak berhasil. Kekasihnya sekarang, Richard
Evans-Lacey, merangkum hubungan mereka sebagai “datang ke pesta-pesta
seksi bersama, dan berkencan dengan orang lain dari waktu ke waktu.”
Pasangan tersebut menerapkan hubungan non-monogami mereka dengan cara
berbeda. “Richard lebih aktif berhubungan seksual ketimbang saya,” ujar
Max, seperti dikutip dari Guardian. “Saya membiarkannya melakukan
apapun yang ia mau, dan saya pikir yang Richard inginkan adalah
interaksi berkala dengan banyak wanita.”
Berbeda dari pasangannya, Max jarang berkencan. “Saya berhubungan intim dengan orang lain mungkin satu kali dalam sebulan.”
Mereka, seperti pasangan non-monogami lainnya, mau tak mau harus
berdamai dengan kecemburuan. “Richard pernah jalan dengan gadis berusia
25 tahun. Ia tentu tidak punya kerutan dan tak punya pengalaman.” Walau
demikian, hal tersebut membuat Max merasa jauh lebih berkembang. Ia
menjadi lebih kuat dan bahagia dalam menjalani hubungan non-monogami.
Sebaliknya, jika Max memasukkan seorang polisi berusia 26 tahun dalam
daftar kencannya, Richard akan sedikit menggerutu. Biasanya Max akan
segera menenangkan pasangannya. “Saya bilang padanya kalau saya tidak
ingin hidup bersama dengan si polisi itu. Ia hanya teman biasa.”
Apa yang ingin Richard katakan tentang hubungannya ini? “Orang berpikir
bila hubungan monogami akan membebaskan Anda dari teror jatuh cinta dan
ketakutan untuk ditinggalkan pasangan. Tapi tidak demikian yang
terjadi.”
Benarkah hubungan monogami alamiah untuk kita?
Sebuah buku, "Sex at Dawn: The Prehistoric Origins of Modern Sexuality"
karangan Christopher Ryan, Ph.D dan Cacilda Jethá, MD menjelaskan
tentang sejarah seksual manusia dari segi antropologi, arkeologi,
primatologi, dan anatomi. Buku itu sukses di pasaran namun juga
dianggap provokatif, karena memperdebatkan institusi pernikahan dan
kesetiaan yang dijunjung sebagai kewajaran dalam beberapa budaya
manusia.
Kedua penulis tersebut mengeksplorasi banyak pertanyaan yang kerap
menghadang kepala kita: Mengapa kesetiaan jangka panjang bisa begitu
sulit untuk beberapa orang? Mengapa gairah seksual cenderung memudar
bahkan tidak bisa dipaksakan untuk memperdalam cinta? Mengapa banyak
pria paruh baya mengambil risiko karier dan keluarga untuk wanita yang
lebih muda?
“Manusia itu makhluk budaya,” kata Ryan. “Mengapa ada orang yang suka
menyantap belatung untuk sarapan, sementara yang lain lebih memilih
kelaparan daripada makan serangga? Kebenaran yang menyedihkan adalah
bahwa sangat sedikit dari kita memiliki kebebasan mental. Kita tidak
pernah mempertanyakan definisi masyarakat kita tentang apa yang
“normal” dan "tidak.”
Menurut Ryan, pernikahan dan cinta merupakan fenomena konstruksi
sosial, begitu pula kecemburuan. “Bukti anatomi reproduksi tubuh kita
menunjukkan bahwa manusia tidak dibangun untuk hubungan monogami.” Ia
mengaitkan pendapatnya tersebut dengan bentuk ******** wanita, testis
dan ***** pria, serta kimia dari air mani.
Dilansir dari New York Times, Dan Savage, kolumnis seks ternama,
percaya monogami tepat untuk banyak pasangan. Keuntungan dalam menjalin
hubungan monogami bisa kita dapatkan jika kita merasa aman secara
emosional, namun para pelaku monogami juga harus menyadari kelemahan
hubungan satu arah semacam itu. Beberapa di antaranya adalah rasa bosan
dan kurangnya variasi. Tak bisa dipungkiri, banyak orang mempraktikkan
hubungan monogami tetapi pada kenyataannya mereka gemar berselingkuh.
“Orang yang menghargai hubungan monogami perlu memahami jika monogami jauh lebih sulit dari yang kita kira,” ujarnya. ~VIVAnews.
No comments:
Post a Comment