Friday, July 15, 2011

AJI: Kalau Berontak Bukan Salah Sosial Media

Lontaran Menteri Tifatul bahwa pemerintah harus mengawasi sosial media, ditentang.

Jum'at, 15 Juli 2011, 22:12 WIB
Elin Yunita Kristanti, Harwanto Bimo Pratomo
Twitter (youngstownfire.com)
VIVAnews - Perubahan politik di berbagai negara seperti Tunisia, Yaman, Mesir, Libya, juga Malaysia menjadi alasan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring ingin mengontrol sosial media: Facebook, Twitter, dan jaringan internet lainnya. Pak menteri tak ingin pemerintah Indonesia lepas pengawasan terhadap sosial media.

Sontak, pernyataan Tifatul mengundang reaksi dari banyak pihak. Salah satunya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Koordinator Divisi Advokasi AJI, Margiyono mengatakan, rencana pengontrolan itu bakal mendatangkan lebih banyak 'buntung' dari pada untung.

Apalagi, UUD 1945 telah ditetapkan kebebasan bagi setiap orang untuk  berkomunikasi dan berinformasi. “Itu kan tindakan yang tidak ada dasar hukumnya, harus ditentang. Bahkan bisa digugat secara hukum,” ujarnya kepada  VIVAnews.com saat ditemui seusai acara peluncuran  ‘Cipta Media Bersama’ di Gedung Sequis Center, Jakarta, Jumat 15 Juli 2011.

Jika hanya dilandasi alasan menjaga kestabilan sosial masyarakat, sungguh tak tepat. Faktor yang dapat menyebabkan ketidakstabilan sosial justru berupa ketidakadilan dan sistim politik  yang tidak demokratis. “Sehingga aspirasi masyarakat tidak pernah disalurkan dan menumpuk terakumulasi menjadi kemarahan,” imbuhnya.

Peran sosial media ini, tambahnya, justru dapat meminimalisasi dampak-dampak yang tidak diinginkan dari kemarahan masyarakat tersebut. “Itu (sosial media) harus dianggap positif oleh pemerintah dari pada aspirasi itu tidak tersalurkan,” tuturnya.

Analogi pemerintah menggunakan kasus pemberontakan di beberapa negara seperti Mesir atau Tunisia dengan alasan penyebab sosial media, dianggapnya kurang tepat. Jangan lupa, rezim Soeharto tidak tumbang gara-gara Facebook, Twitter, atau BlackBerry Messenger -- yang kala itu belum lagi lahir. Toh pemberontakan tetap terjadi.

“Itu bukan karena media sosialnya tetapi  lebih karena pemerintahannya sendiri yang sudah  diktator dan ketidakadilan sosial yang  sudah berkembang,” tutupnya.

Penolakan juga datang dari pengguna sosial media, Wimar Witoelar. "Saya kira Pak Tifatul berbeda pendapat dengan banyak orang termasuk saya, dalam persepsinya mengenai peran sosial media yang dianggap sebagai bahaya padahal dia bisa membantu siapa saja,” ujarnya kepada VIVAnews.com.
Rencana pengontrolan ini, tambahnya, justru akan berdampak negatif buat Tifatul. Sebab, dalam hukum berkomunikasi, satu hal yang menjadi prinsipnya ialah membuka saluran seluas-luasnya. “Kemudian yang salah ditindak,” jelasnya. (eh)
• VIVAnews

No comments: