Friday, February 3, 2012

Sepertiga Warga Eropa Penderita Gangguan Jiwa

Lebih dari sepertiga populasi Eropa dilaporkan mengalami gangguan kejiwaan setiap tahunnya. Sebagian besar dari penderita gangguan jiwa ini tidak mendapatkan penanganan serius dari psikolog maupun tim medis.

Hal ini berhasil diketahui berkat riset yang dilakukan oleh European College of Neuropsychopharmacology (ECNP), Riset yang dilakukan oleh ECNP ini bertujuan untuk memetakan dan mencari solusi permasalahan tersebut.

Riset ECNP menunjukkan lebih dari 164 juta warga Eropa, atau 38 persen populasi Eropa, menderita penyakit kejiwaan setiap tahun. Tidak hanya penderita depresi, kecemasan (anxiety) dan insomnia, ECNP juga memasukkan penderita penyakit syaraf, termasuk parkinson dan pikun (demensia), ke dalam kategori ini.


Menurut riset ECNP, penyakit kecemasan menempati urutan teratas dengan 14 persen penderita setiap tahunnya, sementara itu insomnia tujuh persen, depresi 6,9 persen, dan pikun 5,4 persen.

ECNP mencatat bahwa jenis kelamin juga menentukan jenis gangguan kejiwaan seseorang. Lelaki, tulis ECNP, lebih mudah mengalami ketergantungan terhadap alkohol ketimbang perempuan. Sementara itu perempuan lebih mudah depresi ketimbang lelaki. Jumlah perempuan usia 16-42 tahun yang depresi di Eropa juga meningkat dalam empat dekade terakhir.

Hans-Ulrich Wittchen, salah satu periset mengatakan peningkatan jumlah ini diakibatkan oleh perubahan pola sosial. Wanita Eropa saat ini banyak yang berkeluarga sambil bekerja, angka perceraian juga semakin meningkat. Kebanyakan wanita yang depresi adalah wanita karir yang merasa tidak mampu dan gagal dalam membesarkan anak-anaknya.

Riset ECNP juga menunjukkan hanya sekitar 30-52 persen para penderita ditangani oleh pekerja medis profesional, dan hanya 8-16 persen pernah datang ke psikolog. Sementara itu, 2-9 persen penderita hanya mendapatkan sedikit penanganan. Persentase berbeda ditunjukkan oleh penderita penyakit saraf. Sebanyak 80 persen penderita multiple sclerosis mendapatkan perawatan medis.~VIVAnews

No comments: