(1) Tujuan meditasi vipassana
Bila
seorang praktisi vipassana “tradisional” ditanya, apakah tujuan
meditasi vipassana, biasanya jawabannya adalah: untuk melenyapkan
keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha), sehingga tercapai pembebasan dari kelekatan pada jasmani dan batin (nama-rupa); pembebasan itu disebut ‘Nibbana/Nirvana’.
Dengan demikian, tujuan vipassana “tradisional” bersumber dari doktrin
agama Buddha. Tujuan meditasi vipassana ini dipahami akan tercapai pada
suatu saat di masa depan.
Apakah tujuan MMD? Tujuan MMD mengandung sebuah paradoks. Di satu sisi, tujuan MMD adalah berakhirnya aku/diri secara radikal, yang berarti berakhirnya penderitaan (dukkha) sepenuhnya—secara
teoretis, tentu saja hal ini akan tercapai di masa depan. Di sisi lain,
secara praksis aktual, tujuan MMD ini tidak dilihat sebagai berada di
masa depan, melainkan harus terjadi pada saat kini,
sebagai suatu transformasi batin yang hanya bisa didekati melalui saat
ini. Dalam praksis aktual, tujuan MMD adalah sadar/eling
sedalam-dalamnya dan terus-menerus terhadap gerak-gerik jasmani dan
batin ini pada saat munculnya, dari saat ke saat, sekarang dan di sini.
Dengan
demikian, secara teoretis, tujuan MMD tidak berbeda dengan tujuan
meditasi vipassana “tradisional”; namun secara praksis aktual, ternyata
terdapat perbedaan mendasar di antara kedua jenis meditasi vipassana
itu.
Pengertian
‘tujuan’ selalu mengacu pada suatu keadaan yang ingin dicapai di masa
depan; tetapi, seperti dikatakan di atas, secara paradoksal tujuan MMD
adalah berada pada saat kini terus-menerus. Dengan demikian, di dalam
MMD tidak relevan lagi orang bicara tentang suatu ‘tujuan’ di masa
depan, di dalam MMD tidak ada ‘tujuan’.
Selain
itu, ‘tujuan’ MMD adalah identik/sama dengan ‘metode’-nya, yakni berada
pada saat kini terus-menerus, yang adalah ‘non-metode’ (lihat bawah).
Paradoks
tujuan MMD ini tidak terdapat dalam pengajaran vipassana “tradisional”
kepada para praktisinya. Tujuan vipassana “tradisional”, yakni nibbana,
diletakkan di masa depan, bahkan sering kali ditampilkan bahwa tujuan
itu hanya bisa dicapai di masa depan yang jauh, tidak dalam kehidupan
sekarang.
Paradoks
dari sebuah tujuan/keadaan transendental sebagaimana diuraikan di atas
juga terlihat dalam kitab-kitab Mahaprajnaparamita dari Buddhisme
Mahayana, seperti Sutra Intan, Sutra Hati, dan sebagainya.
Sekali
lagi, tujuan MMD adalah berada pada saat kini terus-menerus; di dalam
MMD orang tidak memandang ke masa depan. Bila orang bisa berada dalam
keadaan itu terus-menerus, di situlah terdapat kemungkinan—itulah
pintu—menuju berakhirnya konflik dan penderitaan eksistensial manusia; inilah yang dicari oleh umat manusia sepanjang zaman.
Apa dan bagaimana berakhirnya konflik dan penderitaan eksistensial manusia itu tidak dibahas dan tidak dikonseptualisasikan dalam praktik MMD, karena hal itu akan merupakan diskursus pikiran lagi, yang mau tidak mau akan menjadi satu lagi doktrin di antara sekian banyak doktrin spiritual yang ada, dan hanya merintangi orang untuk berada pada saat kini terus-menerus, melihat apa adanya (yathabhutam nyanadassanam) tanpa dicampuri oleh konsep-konsep ciptaan pikiran.
Tujuan MMD bukan hanya melenyapkan keadaan-keadaan batin yang negatif, seperti lobha, dosa, dan moha seperti di dalam vipassana “tradisional”, tetapi juga memahami keadaan-keadaan batin yang positif, seperti cinta (metta), welas asih (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha).
Ketika semua keadaan batin yang negatif maupun positif itu
dipahami/disadari, maka pemeditasi tidak akan menolak keadaan batin
yang negatif dan/atau melekat pada keadaan batin yang positif.
(2) Teknik/metode meditasi vipassana
Adanya
perbedaan dalam tujuan meditasi di antara meditasi vipassana
“tradisional” dan MMD menyebabkan perbedaan yang mendasar dalam praktik
di antara kedua versi vipassana itu. Dalam kebanyakan meditasi
vipassana “tradisional” diajarkan berbagai teknik yang harus dijalankan
oleh pemeditasi kalau ia ingin mencapai hasil yang diinginkan.
Misalnya, dalam meditasi vipassana versi Mahasi Sayadaw, ditekankan
teknik-teknik berikut:
* berkonsentrasi untuk waktu lama pada sebuah “objek utama”;
* mencatat/memberi label segala sesuatu yang teramati dalam meditasi (setidak-tidaknya pada “tahap awal” praktik);
* melakukan meditasi duduk dan meditasi jalan berganti-ganti dalam sesi meditasi formal;
* memperlambat sedapat mungkin semua gerakan tubuh agar dapat diamati secara kuat.
Semua itu dilakukan, dan didasari usaha (viriya) yang maksimal, dengan tujuan agar konsentrasi berkembang secara maksimal pula, sehingga tercapai berbagai pencerahan (nyana) yang teorinya telah diketahui lebih dahulu, dan akhirnya tercapai pembebasan (nibbana).Di lain pihak, di dalam MMD:
* tidak ada konsentrasi pada ‘objek utama’ apa pun—karena sadar/eling yang berkembang secara pasif akan mengembangkan pula perhatian (sati) yang kuat, tetapi bukan konsentrasi. Alih-alih berkonsentrasi secara sempit pada satu objek, perhatian dibiarkan terbuka seluas-luasnya secara alamiah meliputi seluruh indera, sehingga dapat menyadari rangsangan yang masuk melalui seluruh indera, termasuk batin (pintu masuknya ingatan dari masa lampau);
* segala fenomena yang muncul dalam badan dan batin sekadar disadari secara pasif, tanpa usaha mencatat/memberi label, yang tiada lain adalah gerak pikiran lagi;
* keadaan batin sadar/eling itu bisa dikembangkan dalam keadaan atau kegiatan apa pun: duduk, berdiri, berjalan, berbaring, tanpa membedakan dan memisahkan antara kegiatan meditasi formal dengan kegiatan sehari-hari—dengan demikian keadaan batin meditatif itu berkembang secara alamiah menjadi keadaan batin sepanjang waktu ketika pikiran/aku tidak dibutuhkan;
* gerakan tubuh tidak perlu diperlambat secara sengaja dan artifisial—apabila perhatian menjadi kuat, maka gerakan tubuh akan melambat dengan sendirinya, sekalipun melambatnya gerakan tubuh itu tidak dikembangkan dengan sengaja sebagai suatu teknik meditasi.
Secara singkat, di dalam MMD tidak ada teknik meditasi apa pun, termasuk tidak ada konsentrasi terus-menerus pada satu objek. Selain itu, di dalam MMD tidak ada usaha (viriya) sama sekali—untuk berada pada saat kini tidak dibutuhkan usaha apa pun.
Pengerahan
usaha justru akan menghalangi pikiran dan aku/diri untuk berhenti
secara alamiah, menghalangi pembebasan. Ini terlihat jelas dalam
pengalaman Bhikkhu Ananda (saudara sepupu Sang Buddha) menjelang
Konsili I Sangha, tidak lama setelah Sang Buddha wafat. Konsili itu
hanya boleh dihadiri oleh para arahat, sehingga beliau—yang pada waktu
itu masih belum bebas sepenuhnya—berusaha keras untuk mencapai
kearahatan dalam waktu semalam. Ternyata justru usaha keras itu
menghalangi tercapainya pembebasan. Justru pada saat beliau
menghentikan sama sekali usahanya, ketika malam menjelang fajar,
muncullah pembebasan terakhir dalam batinnya. (Vinaya Pitaka,
Culavagga, Khandaka, 11)
Karena tidak ada teknik meditasi apa pun, dan tidak ada usaha untuk mencapai apa pun, maka pemeditasi bebas dari beban meditasi,
sehingga sadar/eling pada saat kini, terus-menerus, tanpa mengharapkan
apa pun di masa depan, merupakan keadaan diam, istirahat, dan berhenti
secara sempurna.
(3) Rujukan dari kitab suci
Hampir semua teknik vipassana “tradisional” menggunakan Mahasatipatthana-sutta (Digha
Nikaya, 22) yang terkenal sebagai rujukannya. Sutta itu penuh dengan
doktrin agama Buddha, sehingga pemeditasi sukar membedakan mana yang
doktrin dan mana yang pengalaman pribadi dalam meditasi pada waktu ia
menerapkannya dalam praktik. Kontemplasi terhadap keempat kelompok dhamma
(fenomena jasmani dan batin) yang diajarkan dalam
Mahasatipatthana-sutta itu tidak lebih daripada kegiatan analisis
intelektual semata-mata dan bukan keadaan sadar/eling aktual yang
secara pasif menyadari fenomena yang muncul pada saat sekarang dan di
sini. Mendiang Ajahn Buddhadasa Mahathera menyebut
Mahasatipatthana-sutta sebagai tidak lebih dari sebuah “daftar
berkepanjangan dari objek-objek meditasi Buddhis”—alih-alih menggunakan
sutta itu sebagai rujukan untuk mengajarkan meditasi vipassana menuju
pembebasan/nibbana, beliau menggunakan Anapanasati-sutta (Majjhima Nikaya, 118).
Di
lain pihak, MMD menggunakan Bahiya-sutta, yang di situ Sang Buddha
memberikan tuntunan vipassana yang langsung dan singkat kepada Bahiya (Bahiya-sutta,
Udana 1.10). Bahiya adalah seorang petapa, bukan bhikkhu siswa Sang
Buddha, dan selama hidupnya tidak pernah mendengar doktrin Buddhisme
sama sekali. Namun Sang Buddha tidak mengajarkan “doktrin Buddhisme”
apa pun kepada Bahiya; alih-alih Sang Buddha mengajarkan vipassana
secara murni tanpa dilandasi doktrin apa pun; dan pada saat itu juga,
ketika khotbah Sang Buddha selesai, Bahiya mencapai pencerahan
terakhir. Tuntunan vipassana yang sama diajarkan pula oleh Sang Buddha
kepada Malunkuyaputta, seorang bhikkhu tua; dan akhirnya Bhikkhu
Malunkyaputta pun mencapai pencerahan terakhir setelah berlatih
beberapa lama (Malunkyaputta-sutta, Samyutta Nikaya, 35.95).
Oleh
karena tuntunan vipassana Sang Buddha kepada Bahiya bersifat bebas dari
doktrin Buddhisme, maka tuntunan itu cocok untuk digunakan sebagai
rujukan mengajarkan MMD kepada para peminat MMD yang non-Buddhis maupun
kepada umat Buddha sendiri.
(4) Ritualisme
Oleh
karena kebanyakan teknik vipassana “tradisional” diajarkan dalam
konteks agama Buddha dan diselenggarakan di sebuah vihara, maka mau
tidak mau dalam praktiknya masih terdapat ritualisme. Suatu kekecualian
dalam hal ini adalah di dalam retret vipassana versi S.N. Goenka, yang
di lokasinya tidak terdapat simbol-simbol keagamaan sedikit pun,
sehingga pemeditasi tidak terdorong melakukan ritual apa pun dalam
praktik retretnya. Kelekatan pada ritualisme itu sendiri sebenarnya
merupakan salah satu belenggu yang harus patah sebelum orang mencapai
pembebasan.
Di
dalam MMD, sekalipun retret dilakukan di dalam Dharmasala (Ruang
Kebaktian) sebuah vihara, selama retret berlangsung peserta sangat
dianjurkan untuk tidak melakukan ritual agama Buddha apa pun, seperti
bersujud (namaskara) kepada arca Buddha (buddharupam) yang ada di sana, membaca paritta, dan sebagainya.
Sedangkan
bagi peserta retret MMD yang beragama Islam, mereka tetap dibenarkan
melakukan ibadah sholat yang wajib menurut ajaran agamanya.
No comments:
Post a Comment