Ambivalen seringkali dimaknai sebagai "dua perasaan yang bertentangan".
Sebagai sebuah sikap, ambivalen kerapkali dilekatkan terhadap orang
yang dinilai tidak memiliki prinsip. Menclak-menclok. Mendua. Tidak
mempunyai jati diri. Bahkan tidak salah juga jika dikatakan "kanan-kiri OK".
Seorang sahabat pernah menyatakan orang yang ambivalen cenderung ingin
enak nya saja, namun tidak mau menanggung kerugian nya. Hal semacam ini
biasa nya akan tampak jelas jika kita kaitkan dengan fenomena yang
sekarang ini tengah menjadi perbincangan publik, yakni soal surat
Partai Keadilan dan Sejahtera (PKS) kepada Presiden Sby yang dinilai
sementara pihak sebagai sikap yang tidak konsisten dari salah satu
anggota Koalisi Partai pendukung Pemerintah.
Apa
sebetul nya isi surat yang cukup menghebohkan itu ? Benarkah PKS
menolak rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sekarang
ini sudah ditetapkan Pemerintah dan tinggal meminta persetujuan DPR ?
Atau kah ada persepsi lain dari perancang yang mengirimkan surat kepada
Presiden Sby diatas ? Lalu, mengapa ada petinggi Partai Demokrat yang
seolah-olah terkesan kebakaran jenggot dengan manuver politik nya PKS
tersebut ? Lebih aneh lagi, ternyata ada pula yang meminta agar PKS
keluar saja dari Koalisi sekira nya tidak mau untuk taat asas atas
keputusan yang telah ditetapkan Koalisi.
Dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, yang nama nya berbeda
pandangan bukanlah sesuatu hal yang diharamkan. Justru berlainan
pendapat itu betul-betul sebuah hikmah yang harus disyukuri keberadaan
nya. Beda pemikiran jangan dipersepsikan secara sempit, namun perlu
dinilai secara lebih luas lagi. Itu sebab nya, kalau ada diantara
partai pendukung Pemerintah yang belum "sepakat" dengan keputusan
Koalisi, maka sebaik nya hal tersebut diselesaikan secara cerdas. Tidak
perlu secara emosional, apalagi jika perdebatan nya dilakukan dihadapan
publik.
Yang menentukan jadi atau tidak nya kenaikan
BBM adalah hasil rapat paripurna DPR yang rencana nya bakal digelar
tanggal 28 Maret 2012 mendatang. Pemerintah sendiri kelihatan nya telah
berketetapan hati untuk menaikan nya sekitar 30 %. Walau aksi penolakan
terhadap rencana kenaikan BBM ini terus berlanjut, namun Pemerintah
seakan-akan tidak mau mendengar lagi apa-apa yang diaspirasikan oleh
para pengunjuk rasa. Malah dalam salah satu pidato nya Presiden Sby
menyatakan bahwa diri nya siap kehilangan popularitas nya ketimbang
harus membatalkan kenaikan harga BBM. Sebab, demi masa depan
pembangunan bangsa dan negara, maka solusi yang paling tepat untuk
ditempuh saat ini adalah menaikan harga BBM.
Muncul
nya surat PKS ditengah-tengah kegalauan Pemerintah atas marak nya demo
yang digelar oleh berbagai komponen bangsa, tentu saja oleh Koalisi
dianggap sebagai langkah yang "nyeleneh" dan tidak senafas dengan
komitmen dan keputusan yang telah diambil oleh Koalisi. Terlebih-lebih
jika isi surat tersebut dinilai seperti yang melakukan "penolakan" atas
rencana Pemerintah menaikan harga BBM. Sebagai anggota Koalisi, PKS
mesti nya dapat memahami "standing posision" nya. Kalau pun ada
perbedaan sikap, sepantas nya dilakukan secara internal dan tidak perlu
dijadikan konsumsi publik. Hanya masalah nya akan menjadi lain, jika
PKS sendiri memang ingin "mencuri adegan" guna memperoleh simpati
rakyat. Nama nya juga politik.
Sikap politik yang
ambivalen, bukanlah hal yang sama sekali baru terjadi di negeri ini.
Sejak dahulu kala, selalu saja ada orang atau kalangan yang tidak mau
mengambil resiko atas apa-apa yang telah diputuskan nya. Apakah sikap
semacam ini dinilai sebagai sebuah "kecerdasan" atau "kedunguan", tentu
akan sangat berpulang kepada mereka yang melakoni nya. Hanya dalam
iklim reformasi yang mengusung semangat transparansi, demokratisasi dan
akuntabilitas, akan terasa aneh jika masih ada orang atau golongan yang
mau bersikap plin-plan dan tidak mau menanggung resiko. Padahal tampa
bersikap seperti itu pun publik sudah mengenali bagaimana rupa yang
sebenar nya. ~SUARA RAKYAT
No comments:
Post a Comment